Sabtu pagi-pagi sekali, Chao telah berangkat keluar kota karena pekerjaan mengharuskannya ke sana untuk bertemu kolega dan kliennya secara mendadak. Mobil kantor telah sampai sebelum Mei sempat membereskan makan pagi Chao, karena Chao tidak memberitahukan sebelumnya bahwa ia memiliki rencana bekerja di luar kota selama dua minggu.
Beberapa roti sandwich sisa semalam di oven disambarnya, dan sebuah minuman mineral berukuran sedang ditariknya dari kulkas lalu diselipkan di sela tas ransel, sementara tangan satunya yang bebas menarik tas jinjing berisi laptop kantor dan semua pekerjaannya setelah semalaman begadang.
Sekali lagi Mei merasa beruntung dengan keberadaan Xixi, karena menyelamatkannya dari marah besar akibat sarapan pagi yang terlewatkan. Diam-diam, dalam hati ia berterima kasih.
Mei hendak merencanakan sesuatu pagi ini sebagai ungkapan terima kasih dan keinginannya untuk bisa berdamai dengan Xixi. Setelah bersantai menikmati teh, menjelang siang saat matahari masih terasa hangat, Mei mengajak Xixi keluar berjalan-jalan untuk pertama kalinya. Mereka sengaja memilih tidak naik kendaraan, tetapi menyusuri trotoar dengan pohon-pohon peneduh yang rindang di sisi kanan dan kiri jalan yang lebar, yang dapat dilintasi dua kendaraan, dengan ruang parkir yang cukup di pinggir jalan.
Mereka berkesempatan mengobrol, dan untuk pertama kalinya, Mei merasa punya teman yang cocok. Xixi juga bisa merasakan banyak sisi menarik dari pribadi Mei, yang disangkanya pendiam sebagai kakak barunya.
Di pertigaan, mereka memanggil becak dan bergerak menuju pinggiran kota yang menjadi pusat penjualan jajanan dan makanan tradisional yang kesohor di kota itu. Hanya butuh sekitar lima belas menit hingga mereka tiba di sana setelah memutari blok berisi deretan ruko yang dijadikan gudang. Mereka sampai di ujung jalan yang berbatasan dengan jalan utama menuju luar kota.
Sebuah pasar kecil yang bersih dengan deretan penjual makanan ringan dan warung-warung dengan meja dan kursi yang tertata rapi di pinggiran jalan hingga jauh mendekati trotoar dipenuhi para pejalan kaki dan pesepeda yang sengaja memanfaatkan suasana akhir pekan untuk bersantai.
Penjual serabi gurih dengan santan yang ditaburi gula merah kental dipenuhi antrean setiap kali serabi diangkat dari kuali-kuali tanah berukuran kecil. Sementara itu, anak-anak dengan sepeda kecil beroda tiga didorong oleh ayah dan ibu mereka berada di sisi jalan lain yang sunyi dari lalu lalang kendaraan bermotor.
Kafe itu berada di antara para penjual jajanan, tepat di ujung jalan di sebuah hook, sehingga memiliki dua muka kafe di jalan yang berbeda, membuatnya terasa luas. Lampu-lampu hias dengan ornamen berada di setiap meja dan kursi menjadi pelengkap keindahan. Hiasan keramik di bawah meja dibentuk seperti potongan mozaik dari pecahan-pecahan keramik yang ditata rapi.
Mereka mengambil meja di sudut, yang diteduhi pohon ketapang dengan sebagian daunnya dibiarkan menjuntai hingga ke dalam kafe menjadi hiasan alami, tepat di tengah hook. Bagi Mei, ini menjadi pengalaman pertama merasakan bagaimana nikmatnya sebuah kebebasan.
Menjelang tengah hari, saat mereka asyik mengobrol, seorang laki-laki datang. Mei mengenalnya sebagai seseorang yang pernah diperkenalkan oleh kolega Chao ketika mereka secara kebetulan bertemu beberapa tahun yang lalu, saat Mei baru saja menikah dengan Chao. Kolega Chao mengenalnya sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, seorang yang sibuk dan hingga kini, menurut Mei, masih melajang demi ambisi bisnisnya—begitu Mei bercanda menggodanya.