Mei terdiam di kursinya. “Xi, kapan tepatnya Chao menjumpaimu? Apakah sebelum atau sesudah kematian mendiang pamanmu?” Mei bertanya seperti seorang detektif dengan serius kepada Xixi.
Jeda sejenak, karena Xixi berusaha mengingat-ingat. Ia baru menyadari segala sesuatunya sekarang dan merasa tidak memiliki rekaman ingatan yang tepat kapan kejadiannya. Ia pun merasa ragu-ragu dengan ucapannya.
“Seingatku, setelah kematiannya. Karena ternyata Chao telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman Paman, termasuk semua urusan rumah sakit tempat Paman dirawat juga telah dibereskan olehnya. Aku setidaknya bisa mengingat karena aku mendapat kabar darinya setelah menelepon dari rumah sakit bahwa seluruh biaya perawatan telah dilunasi seseorang—seorang laki-laki yang mengaku sebagai saudaranya, seperti penuturan perawat itu.”
Mei terdiam begitu mendapat jawaban Xixi. Ia berpikir keras, apakah mungkin skenario ini telah dipersiapkan Chao jauh hari sebelum Paman Xixi meninggal, meskipun di dalam surat disebutkan bahwa Paman Xixi sudah lama tidak pernah melihat Chao. Tapi bagaimana jika Chao terlebih dahulu menemuinya tanpa sepengetahuan Xixi? Entah karena sebuah kebetulan, atau karena telepon dari pamannya yang mendapatkan nomor entah dari mana, dan selama ini belum sempat diberitahukannya kepada Xixi, hingga akhirnya mendiang pamannya pergi.
Isi surat itu kemungkinan bagian dari rekayasa dan bisa menjebak seolah-olah semua informasinya benar seperti apa adanya. Itu kemungkinan yang paling masuk akal menurut Mei.
“Bagaimana, Kak Mei, menurutmu?” Xixi penasaran karena Mei sama sekali tidak meresponsnya, justru terdiam lama, memutar pipet di gelas jus tanpa berkata apa-apa.
“Bagaimana jika kemungkinannya adalah Chao sudah mendahuluimu menemui pamanmu tanpa kamu sadari? Kamu tidak mengenal Chao sepenuhnya, dan Chao bisa memanfaatkan situasi dengan berusaha menyamarkan diri. Apalagi ketika pamanmu menemuinya kembali setelah sekian lama, maka satu-satunya informasi penting yang bisa diberikan sebelum ia meninggal tentu kepada Chao—yang dianggapnya sebagai saudara satu-satunya dari pihak istrinya yang tersisa dan diharapkan bisa merawatmu. Bukan tidak mungkin Chao mengaku bahwa ia telah lama menduda sejak istri dan anaknya meninggal, karena Pamanmu mengetahui peristiwa itu tapi tidak mengetahui bagaimana status Chao setelahnya. Jika itu yang terjadi, maka Chao merasa di atas angin karena mendapat dua durian runtuh: pertama dari uang peninggalan pamanmu, dan kedua dari keinginan pamanmu agar Chao membantu merawat Xixi. Chao melihat peluang emas ini. Apalagi kalau bukan untuk menjadikanmu sebagai istri barunya kelak jika Paman meninggal.” Kening Mei berkerut.
“Aku bisa melihat jelas rencana busuknya sekarang,” kata Xixi akhirnya sambil mengangguk-angguk.
“Tapi Paman mengatakan tidak pernah menjumpainya sejak lama,” ujar Xixi yang masih kebingungan. Mei hanya menggeleng dan tersenyum simpul.
“Kata siapa?”
“Chao!” Kali ini Xixi menjawab cepat, seolah mengejek Mei yang dianggap belum memahami maksudnya.
“Bukankah jelas dalam surat Paman disebutkan begitu!” jawab Xixi ketus tapi manja.
“Surat Chao maksudmu?” potong Mei, meluruskan kata-kata Xixi soal surat itu.
“Jadi Paman sudah bertemu Chao sebelumnya?” Kali ini Xixi melanjutkan kata-katanya sendiri sambil mengangguk-angguk. Alisnya yang hitam mengerut berkumpul seperti barisan semut.
“Itulah yang aku maksud bahwa Chao sedang mempermainkan kita sekarang,” jelas Mei sambil menunjuk ujung hidung Xixi yang matanya tidak berkedip, berusaha mencerna maksudnya.
“Maksudmu Chao merekayasa semuanya setelah ia mendapatkan informasi penting dari Paman, dan itu artinya ia sudah bertemu sebelum kematiannya?” tanya Xixi merasa belum sepenuhnya paham atas analisa Mei.
“Tepat! Ia membereskan semuanya, bertemu dengan pihak bank bersama Paman terakhir kali, dan menghubungi pihak bank setelahnya untuk memastikan berapa jumlah harta karun itu dan siapa perwalian dana yang akan menerimanya. Bukan tidak mungkin Chao mendesak Paman agar ia yang memegang dana itu bersama Xixi. Mengaturnya hingga Xixi dianggap dewasa untuk bertanggung jawab atas uang besar tersebut. Apalagi Chao bekerja di jaringan real estate, bisa saja ia menawarkan sebagian dana itu untuk membeli aset rumah yang akan menjadi milik Xixi nantinya. Atas dasar itu juga, Paman dan pihak bank akan menyetujui pencairan dana tersebut. Tapi keuntungannya adalah bahwa pihak bank juga tahu jika orang yang memiliki hak untuk menarik dana itu adalah Xixi dan Chao. Mungkin saat ini Chao masih menahan diri untuk tidak menyentuh dana itu karena ia tidak punya akses langsung, dan menunggu hingga ia berhasil menarikmu ke dalam pelukannya,” ujar Mei dengan nada tegas, seolah detektif pro yang berhasil membongkar kasus. Mata Xixi melotot ke arah Mei mendengar kata-kata “jatuh ke dalam pelukannya,” yang disertai nada tidak peduli dan terus melanjutkan kata-katanya.
“Enak saja!” Kali ini Xixi yang bersungut-sungut marah.
“Jika benar begitu, kamu beruntung tidak perlu berbelit mengambil hakmu. Tapi jika ternyata telah diambil Chao atas bantuan orang dalam atau kesepakatan di hadapan pamanmu, maka kita harus bergerak lebih jauh hingga menuntut hakmu kembali,” kata-kata Mei terakhir membuat Xixi takut karena harus berurusan hukum dengan Chao.
Berdebat banyak hal bersama Chao selama masa-masa masih bersikap manis ternyata ada gunanya bagi Mei sekarang ini. Mei bisa memahami masalah rumit politik dan hukum berdasarkan cerita Chao. Dan kini semua informasi itu bisa menjadi senjata makan tuan bagi Chao karena Mei sendiri yang akan menggunakannya untuk menyerang balik Chao.
“Aku mencurigainya ketika dua minggu setelah kehilangan jejak Chao, tiba-tiba pulang membawa seorang gadis cantik dan membelanya habis-habisan untuk tinggal, serta sama sekali mengabaikan penderitaanku setelah serbuan siksaan yang memaksaku harus menginap di rumah sakit berhari-hari.” Xixi beringsut mendekat ke kursi Mei, menarik tangannya, dan memandang wajah Mei dengan wajah sedih. “Aku minta maaf soal itu, tapi aku juga merasa beruntung atas situasi itu,” katanya lirih.
“Satu lagi, terima kasih untuk pilihan kata ‘gadis cantik’-nya,” ujar Xixi memotong cepat dan berdehem untuk dirinya sendiri. Mei tidak berkata apa-apa, hanya memandang wajah Xixi yang kini dirasanya seperti telah menjadi saudara perempuannya sendiri.
Ia memahami kelanjutan dari kata-kata Xixi, bahwa kedatangannya bersama Chao, meskipun awalnya menyakitkan hati Mei, tapi pada akhirnya bisa berujung pada rencana menyelamatkan seorang perempuan dari sebuah pengkhianatan dan rencana jahat luar biasa yang sedang direncanakan oleh suaminya sendiri. Kini, Mei merasa telah dibuang dan tidak dibutuhkan lagi oleh Chao sejak kematian putra mereka kemarin.
***
“Aku akan minta tolong Jinxiang,” kata Mei seolah tanpa pertimbangan, dan Xixi yang mendengarnya menjadi khawatir, apalagi jika Jinxiang mundur darinya karena mendengar begitu banyak masalah di balik keberadaan Xixi.
“Sementara ini, bantuannya hanya untuk memastikan bahwa ada seorang pegawai Bank Mayday bernama Hong, karena aku yakin Chao tidak memanipulasi nama itu. Jika itu saja palsu, maka dengan mudah semua rencananya bisa buyar. Satu-satunya alasan Chao menggunakannya adalah karena tidak seorang pun di antara kita tahu persis bagaimana rupa wajah Hong, kecuali Chao yang mengenalnya karena bertemu langsung. Bahkan kamu tidak mengenalnya.”
Mei berencana meminta bantuan Jinxiang untuk mendapatkan nomor teleponnya, dan selanjutnya Xixi yang bertindak untuk memastikannya.
Mereka tidak perlu harus menunggu besok karena mobil Benz hitam tidak lama datang dan parkir di ujung ruang parkir mobil di sisi kanan kafe yang memang diperuntukkan untuk para pengunjung bermobil. Jinxiang keluar dengan setelan santai berupa celana denim abu-abu, kemeja lengan pendek putih polos, dan sebuah buket bunga.
“Biar aku mengurusnya,” ujar Mei mengingatkan Xixi.
“Urusanmu cukup melelehkan hati Jinxiang saja,” goda Mei menyambung ucapannya. Xixi tergelak ceria.
Jinxiang bergerak menyusuri koridor panjang, langsung menuju meja yang biasa mereka jadikan tempat bertemu, tapi ia berhenti sejenak ketika dilihatnya tidak satupun di antara Xixi dan Mei yang berada di meja itu. Ia menarik bunganya ke bawah di dekat lengannya agar tidak mencolok pengunjung lain, sementara matanya berkeliling menelusuri sudut kafe sampai ia melihat Xixi, dengan topi yang atasannya terbuka ala pemain golf, dengan ujung rambut dikucir dibiarkan tergerai sedang melambai ke arahnya, sambil berdiri tanpa suara.
“Untuk calon istriku tersayang,” ujar Jinxiang menyerahkan buket bunga kepada Xixi, tidak lagi sungkan dan malu di hadapan Mei.
“Jadi aku diabaikan?” Kali ini Mei memasang muka iri pada pasangan yang sedang mabuk cinta itu dan telah resmi jadian kemarin. Dan sialnya, baik Jinxiang maupun Xixi, seolah tidak mendengar kata-kata Mei, sehingga Mei semakin meradang kesal.