Chao mengalami pendarahan, namun ia masih tertolong. Petugas medis langsung menanganinya, membawanya ke ruang gawat darurat, dikawal polisi yang menjaganya jika ia pulih nantinya. Proses hukum baru bisa dimulai jika Chao berhasil diselamatkan.
Seluruh bukti-bukti itu membuat Chao tak bisa berkutik. Selain kekerasan terhadap Mei yang ternyata telah berulang, semua bukti yang dikumpulkan Mei dengan bantuan dokter selama masa perawatan, ditambah rencana pencurian dana perwalian warisan paman milik Xixi, percobaan perkosaan, dan kepemilikan senjata ilegal, memastikan Chao akan menjalani masa hukuman yang panjang di penjara.
Ia juga harus memberikan ganti rugi kepada Mei. Pada akhirnya, rumah itu dijual untuk membayar seluruh kewajiban Chao terhadap Mei. Baik Mei maupun Xixi tak bersedia menerima ganti rugi berupa rumah yang selama ini mereka tinggali. Rumah itu telah menyisakan trauma yang berat bagi Mei, seolah membawa semua ingatannya kembali ke “penjara” ketika tinggal berdua bersama Yueyin.
Keputusan ayah kesayangannya, Salim, yang membuangnya dan memberikannya pada laki-laki yang kini telah dikirimnya sendiri ke penjara, membuat Mei harus mengalami penderitaan yang luar biasa.
Bayangannya tentang rumah dan laki-laki yang diharapkannya bisa menjaganya ternyata tak pernah membuatnya merasa nyaman. Bahkan ketika ia membayangkan sosok ayah kesayangannya yang dianggap lebih baik dari ibunya, yang selalu bersikap kasar, ternyata tidak lebih baik.
Mei ingat pesan Yueyin, ibunya, “Kau akan tahu siapa ayahmu yang sebenarnya.” Pada akhirnya, Mei tahu bahwa ibunya memang satu-satunya orang yang menyayangi dan menjaganya, meskipun sering kali Mei menganggap Yueyin sebagai perempuan yang paling jahat dan kasar, berbeda jauh dari ayahnya yang lembut.
Bahkan ketika ia mulai bisa menerima kehadiran Chao, laki-laki yang menjadi suaminya dan tidak pernah dikenal sebelumnya kecuali ketika hendak menikah, pada akhirnya ia menyadari Chao tak lebih baik dari Salim. Beruntung, Mei kini memiliki Xixi yang telah dianggapnya sebagai adik sendiri.
Begitupun drama ini belum akan berakhir di sini. Berkali-kali Chao terus mengancam akan membalas dendam setelah kesembuhannya, meskipun ia kini telah di penjara. Mei tak bisa selamanya menghindar karena merasa Chao akan kembali membalaskan dendamnya jika kelak ia keluar dari penjara.
“Aku akan membalaskan dendam ini,” ancam Chao ketika mereka bertemu di pengadilan, saat Mei melintas di dekat Chao yang dikawal ketat polisi dalam keadaan terborgol. Meskipun Chao dalam kondisi terikat, Mei tetap bergidik merasakan ancaman itu.
***
Rekonstruksi itu diadakan sebulan setelah Chao pulih dari perawatannya, begitu juga dengan Mei yang menjalani perawatan intensif akibat kekerasan yang membuatnya tak lagi bisa melahirkan seperti wanita normal. Xixi kini juga jauh lebih tenang bersama Jinxiang, yang begitu syok melihat kekerasan yang dialami istri dan kakak iparnya.
Jika saja ia terlambat datang, ia mungkin akan kehilangan Mei, dan istrinya, Xixi, mungkin akan mengalami kekerasan yang pasti membuatnya trauma sepanjang hidup. Jinxiang tak bisa membayangkan bagaimana dua orang perempuan yang sangat dicintainya harus melawan seorang Chao yang berbadan besar dengan kekuatan sebesar itu. Mereka mungkin hanya beruntung karena Chao dalam kondisi mabuk. Jika tidak, Jinxiang tak bisa membayangkan di mana Mei dan Xixi sekarang.
Chao berjalan dengan muka yang masih sedikit pucat dan muram di bawah kawalan polisi yang ketat. Mei dan Xixi masih bisa melihat pancaran kemarahan dari mata Chao yang dirasuki dendam. Beberapa petugas polisi telah disiagakan di lokasi, di halaman hingga di dalam ruangan di lantai bawah dan di atas tangga. Mei dan Xixi hanya melihatnya dari layar yang disiarkan langsung oleh petugas yang sedang melakukan rekonstruksi di beberapa ruangan di rumahnya dulu.
Setiap kali menyaksikan reka adegan itu, Mei dan Xixi merinding. Denyut jantung mereka berpacu cepat, memenuhi tubuh dengan adrenalin yang menegang. Terbayang bagaimana kekerasan yang mereka terima nyaris membunuhnya.
Namun Mei kini bisa merasakan ketenangan baru yang tak pernah dibayangkannya. Pikirannya tiba-tiba berkelebat kembali ke gunung di rumah ibunya dulu, mengingat bagaimana Yueyin menyayanginya, menikmati suasana damai tanpa gangguan siapa pun, meskipun hidup terasing.
“Aku ingin pulang ke rumahku yang dulu, Xi,” pinta Mei suatu kali ketika mereka menikmati teh hangat sore di halaman rumah Xixi yang tenang.