PERJALANAN TERAKHIR My Last Journey

Hans Wysiwyg
Chapter #30

Kembali Ke Penjara Untuk Terakhir Kali-Teduh Dalam Bara

Rumah penjara Mei itu berada di sebuah desa dengan bukit-bukit landai yang dipenuhi hamparan rumput grinting hijau, diselingi pohon-pohon randu yang berjajar dengan buah berwarna kecokelatan yang kering ketika matang.

Kapas-kapas yang terlepas dari kelopak buah yang merekah mengirim gumpalan lembut seperti awan kecil yang beterbangan di bukit dan menempel di pucuk-pucuk ilalang.

Tak ada penduduk di sekitar rumah dengan pohon flamboyan yang selalu mekar itu, kecuali hanya Mei dan ibunya, Yueyin. Sesekali, Ko Halim dan Bibi Xia datang mengunjungi mereka. Yueyin akan begitu bersemangat ketika mengolah campuran labu dan gula dalam kuali yang panas dari tungku kayu yang mereka dapatkan dari ranting dan dahan kering.

Tubuhnya berkeringat, menjadi kecokelatan karena sengatan api dan cahaya matahari. Mereka bergantian mengaduk hingga adonan itu benar-benar menjadi kering dan siap dimakan, menyisakan lelah tetapi juga kegembiraan.

Mei selalu merasakan kegembiraan ketika mendengar cericit burung kecil pemakan padi yang singgah di dahan flamboyan, membersihkan bulu-bulu abu-abu mereka setelah kenyang menggasak padi-padi menguning di kaki bukit yang dipenuhi ladang-ladang penuh padi.

Di sore hari, ketika lembayung senja memantul di ufuk menciptakan panorama indah, lereng-lereng bukit berubah menjadi jingga. Burung rajawali pulang membentangkan sayap dengan teriakannya yang memenuhi gunung sebelum pulang ke sarang untuk tidur.

Mei pernah berharap bisa menjadi seekor elang atau rajawali, terbang ke mana suka mengitari gunung, dan mungkin singgah di rumah Salim, ayahnya, di suatu tempat yang jauh. Ketika tersadar dari lamunannya, ternyata Mei masih berada di rumah mereka di gunung. Lalu mereka berdua menghangatkan diri di dalam rumah yang telah dihiasi lampu berwarna kuning temaram, menikmati kue labu hangat yang masih mengepul siap menemani malam-malam purnama.

Sopir Jinxiang mengantarkan mereka menyusuri jalan yang mencoba diingat Mei, karena ia nyaris lupa di mana rumahnya dulu. Ia mencoba mengingat-ingat taman dengan kolam ikan koki yang kini dilihatnya telah kosong, dan pohon-pohon di taman telah berubah menjadi tanaman-tanaman ketapang kencana dan Spathodea. Taman itu terkesan bersih tetapi sunyi dan kering, tanpa suara anak-anak yang riuh di pinggiran kolam.

Ia ingat kembali ketika melihat pertigaan jalan, di mana ia diantar seorang pengendara becak menuju stasiun dan akhirnya berada di perumahan tempat Salim, ayahnya, tinggal. Rumah besar itu terlihat suram, tak terlihat lagi mobil di garasi rumah besar itu. Bahkan pohon-pohon di halaman mengering.

"Berhenti, Pak," pintanya Mei ketika mereka berada tepat di seberang rumah bercat putih yang kini berwarna kelabu dan kusam.

"Ini rumah ayahmu," Xixi mencoba menebak, karena Mei pernah menceritakan tentang sebuah rumah berwarna putih yang besar dengan pinggiran jalan dipenuhi tanaman flamboyan dan trembesi, persis seperti yang dilihatnya sekarang ini. Hanya saja terkesan lebih kusam dari sebelumnya. Mei hanya melamun, terdiam, tak menjawabnya. Pikirannya melayang dibawa angin ke masa lalu, ketika ia memberontak kepada Yueyin dan pergi meninggalkannya diam-diam dengan menyeberangi sungai.

[Apa Salim, ayahnya, masih tinggal di sana bersama istri-istrinya yang membuangnya? Di jendela rumah itu juga Mei melihat ayahnya bersembunyi di kamar atas dan membiarkannya tertidur di halaman, di trotoar kedinginan. Berakhir dengan kematian Yueyin, ibunya, yang sudah berkali-kali mengingatkan tentang siapa ayah sebenarnya. Mengingat Yueyin, pipinya terasa hangat, merasakan kepedihan yang tak terperi dari kisah hidupnya yang terbuang oleh suami dan keluarga besarnya sendiri.]

Begitu sampai di pinggiran sungai, ingatan Mei tiba-tiba kembali. Ia bisa mencium kembali bau amis air sungai dan ilalang kering. Mei meminta sopir memarkirkan mobil di pinggiran jalan dekat sebuah kedai.

Mei nyaris berlari ketika berjalan menyusuri jalan setapak yang kini diingatnya lagi. Ia melepas sandalnya, membiarkan tanah liat kering berwarna terakota itu menyentuh telapak kakinya seperti dulu.

Ketika akhirnya berhenti di pinggiran sungai, Mei memandang ke seberang sungai yang kini ditumbuhi pepohonan bambu menjulang tinggi dan lebat. Tak ada lagi aliran air deras di sisi utara yang dulu dipilih Mei saat melarikan diri dari ibunya, sementara ibunya menunggunya di bawah rimbunan bambu.

Lihat selengkapnya