Tujuh belas tahun kemudian...
Hamparan padang rumput di lereng pinggiran jurang itu luas sekali. Mei berdiri di pagar rumah paling tinggi, di atas tumpukan kayu bakar dari kayu pinus, melihat punggung bukit di kejauhan yang diselimuti rumput grinting berdaun lebar. Rumput yang berkilau di pagi hari, dengan pucuk-pucuknya dipenuhi tetes embun di antara kaki pohon-pohon randu muda yang berjajar rapat. Tepat di titik itu, ia bisa melihat Salim, ayahnya, jika datang.
Cahaya mentari yang lembut menerobos masuk dari celah dahan cemara, menelusup hingga menghangatkan pori-pori wajahnya yang bercahaya. Keringat menetes; sudah enam kali Mei bolak-balik tak sabar menunggu burung-burung pipit berhamburan dari ilalang, sebagai pertanda kedatangan ayahnya.
Hidupnya memang tidak pernah lepas dari kurungan gunung, hutan, jurang, dan sungai di sisi timur rumah yang menghadap matahari. Hingga waktu yang ia sendiri tidak tahu kapan berakhir, seperti hukuman tanpa batas waktu—mungkin sampai mati.
Di tahun keenambelasnya pun, ia masih terkurung di sana karena kesalahan masa lalu yang tidak pernah dilakukannya! Seingatnya, saat itu adalah hari Sabtu, ketika pertama kali mendengar ibunya menyebut rumah itu sebagai penjara. Yueyin, ibunya, ribut karena merasa dibuang dari semua kehidupan normal yang pernah menjadi haknya setelah kerusuhan melemparnya ke titik paling rendah dalam hidupnya.
Hari Sabtu, minggu kedua dan keempat, menjadi hari kunjungan Salim yang paling ditunggu Mei. Laki-laki yang selalu Mei sebut sebagai ayah kesayangan, padahal ia juga yang telah menjebloskannya ke penjara—tempat Mei dan Yueyin, ibunya, berada sekarang ini.
Mei sudah berusia dua belas tahun saat pertama kali mendengar ibunya berteriak menyebut rumah mereka sebagai penjara. Ia bersungut-sungut kesal, apalagi saat alzheimer-nya kumat. Tapi Mei tidak pernah tahu mengapa ibunya selalu memaki dengan umpatan seperti itu.
Kulit wajah Yueyin akan memerah seperti kerasukan setan tanpa sebab. Tak ada angin, tak ada hujan. Begitu juga sesaat kemudian, tiba-tiba marahnya mereda dan hilang, pertanda rohnya kembali, selesai memuntahkan sumpah serapahnya.
Mei bahkan tidak paham saat Yueyin tanpa sadar selalu berteriak, “Gara-gara anak haram jadah itu aku di penjara!” Tetapi saat melihat Mei menangis ketakutan, Yueyin segera memeluknya, mencoba menghapus ketakutan Mei. Yueyin baru merasa lega jika melihat Mei tersenyum, karena bagaimanapun, Mei adalah harta satu-satunya yang tersisa.
Ketika itu, Mei belum mengerti. Ia tidak tahu mengapa ibunya selalu meneriakkan kata-kata haram dan penjara itu. Cara Yueyin menyebutnya penuh perasaan jengah, marah, dan benci.
Seperti ada sesuatu yang membuat Yueyin begitu membenci kata itu. Seolah-olah sesuatu yang menjijikkan, kata itu menjadi makian ibunya jika sedang marah besar. Sesuatu seperti aib terkutuk yang harus dibuang jauh-jauh dari rumah.
Baru ketika sedikit dewasa, Mei mulai mengerti. Cara Yueyin mengucapkan kata itu lebih seperti kegeraman yang membuat Mei tersengat. Mei baru memahami maksud ibunya, bahwa anak haram jadah yang sering disebut Yueyin dimaksudkan untuk dirinya. Mei adalah anak dari masa lalu yang tidak akan pernah mendapatkan hak seperti anak-anak lainnya.