"Nak Wibi ... bisa bantu Simbok)* mengambilkan daun pisang di kebon)*?" tanya Simbok, ibu mertuanya, sambil menengok Wibi dari balik pintu yang menghubungkan ruang makan dengan ruang tamu. Saat itu Wibi sedang asyik dengan koran sorenya di ruang tamu. Dia ditemani Ratri, istrinya yang sedang hamil tiga bulan.
"Daun pisang untuk apa, Mbok?" Wibi balik bertanya.
"Ini lho ... Simbok mau membuat bancakan)* dan sajen)*." Tanpa menunggu kesanggupan Wibi, Simbok kembali ke dapur untuk mempersiapkan acara bancakan sore nanti.
"Aku sebenarnya tidak setuju dengan cara Simbok ini, meskipun aku lahir dan besar di lingkungan keluarga yang memegang teguh adat dan budaya Jawa." Wibi meletakkan korannya dan memandang Ratri.
"Ya beginilah Mas, tradisi yang selalu dilaksanakan Simbok. Mungkin Mas sudah tidak terbiasa dengan ini semenjak tinggal lama di Jakarta."
"Kalau cuma bancakan terus dibagikan pada anak-anak tetangga sih aku nggak apa-apa, Rat. Tapi kalau pakai sajen segala, itu yang sekarang aku tidak setuju! Sama saja Simbok itu memberi makan pada lelembut)*." Wibi menarik napas panjang tapi belum juga beranjak dari kursinya.
"Atau mungkin Simbok mempunyai keinginan tertentu dengan sesajen itu. Karena pada dasarnya sesajen itu adalah permintaan. Dan permintaan kepada lelembut pasti ada imbalannya, Rat," lanjut Wibi.
"Jangan berprasangka buruk dulu pada Simbok, Mas. Simbok cuma minta keselamatan untuk keluarga kita. Sebenarnya aku juga begitu, tidak setuju dengan sesajennya ... tapi biarlah Simbok dengan tradisi leluhur yang telah lama diuri-urinya)*. Sedangkan kita tetap dengan pendapat yang berbeda tentang itu semua," sahut Ratri. Dia diam sejenak sambil menghela napas panjang.
"Sudah sana ambil daun pisang dulu untuk Simbok," lanjut Ratri tersenyum memandang suaminya.
Sementara Wibi hanya bisa menghela nafas panjang kembali. Dia berdiri dan segera beranjak meninggalkan Ratri di ruang tamu menuju kebun di belakang rumah.
Sementara itu Simbok kembali sibuk di dapur dibantu oleh Bi Warsi, seorang pembantu di rumah Ratri. Simbok sudah mempersiapkan bumbu gudangan)* tidak pedas dengan taoge, kangkung, kacang panjang utuh, dan telur yang dipotong-potong seperempat bagian sudah ditata rapi di dalam tampah oleh Bi Warsi, pembantu di rumah Ratri. Tampah adalah semacam nampan atau baki berbentuk bundar yang dibuat dari anyaman bambu.
Ditambah dengan tujuh macam jajan pasar)*, kacang tanah dan ubi yang sudah direbus serta beberapa jenis buah-buahan diletakkan pada dua tampah yang lain. Ketiga tampah itu diletakkan di atas meja makan.
***
Ibu Sumiyati atau Simbok kalau Wibi dan Ratri memanggilnya dan dia lebih dikenal lagi dengan nama Mbok Sum oleh tetangga-tetangga di kampung. Usianya yang sudah mencapai dua pertiga abad. Tetapi paras wajahnya masih cantik dan terlihat belum begitu tua, seperti tidak sebanding dengan usianya. Mungkin karena Mbok Sum itu orangnya grapyak)*, dan semanak)* pada setiap orang meskipun orang itu lebih muda usianya sekalipun.
Mbok Sum juga menjalani hidup ini dengan apa adanya dan tidak banyak menuntut ... atau nrimo ing pandum, begitu kata pepatah orang-orang Jawa jaman dulu yang selalu dipegangnya dan diajarkan pada setiap orang. Setidaknya begitulah pandangan atau penilaian orang-orang di kampungnya pada Mbok Sum. Tapi tidak banyak yang mengetahui secara pasti siapa dan bagaimana sebenarnya Mbok Sum, istri kedua dari mendiang Ndoro Sastro ini.