Wibisono adalah sebuah nama Jawa yang berarti bijaksana. Tetapi keluarga besar dan tetangga dekatnya di sana lebih sering memanggilnya dengan nama pendek Sono. Sebuah nama panggilan yang lebih mengesankan sebagai wong ndeso)* dengan segala atribut ketradisionalannya. Sono kecil pun tumbuh menjadi dewasa di lingkungan keluarga yang masih memegang teguh adat dan tradisi leluhur.
Setelah selesai kuliah di Jogja, Sono mendapat pekerjaan di Jakarta. Sebuah kota metropolitan dengan gaya hidup lebih modern dengan kecanggihan teknologinya. Teman-teman kerja dan lingkungan kos tempat tinggal Sono pun lebih gaul. Mereka lebih suka memanggil Wibisono dengan nama Wibi agar terdengar lebih keren. Sepadan dengan ketampanannya. Hingga sekarang nama Wibi telah melekat pada dirinya.
Keadaan masyarakat di kampung kelahiran Wibi saat itu masih tradisional. Mereka masih memegang teguh ajaran para leluhur yaitu nenek moyang orang-orang Jawa jaman dahulu. Salah satunya adalah tradisi bancakan dan sesajen yang masih dilestarikan dan dilaksanakan secara turun-temurun. Hampir setiap minggu ada yang membuat bancakan untuk keselamatan anaknya. Dan sebuah pemandangan yang sudah jamak terjadi di kampung Wibi waktu itu adalah adanya sesajen yang diletakkan di bawah pohon besar atau di tengah-tengah perempatan jalan.
Tetapi perubahan jaman dan perkembangan teknologi sedikit banyak telah mempengaruhi pola pikir masyarakat di kampung halaman Wibi. Apalagi sudah banyak generasi mudanya yang merantau untuk belajar atau bekerja di kota-kota besar. Sehingga arus informasi begitu cepat mempengaruhi perilaku masyarakat. Dan perubahan adat istiadat yang telah dilaksanakan secara turun-temurun menjadi sebuah keniscayaan di sana.
Sekarang sebagian besar dari mereka sudah tidak mau lagi melestarikan bahkan melupakan tradisi leluhurnya. Mereka hanya menganggap sebagai mitos atau dongeng anak kecil seperti anggapan Wibi saat ini. Sehingga tinggal generasi tua saja yang masih melestarikan adat dan tradisi kepercayaan Jawa tersebut.
Ada banyak macam adat dan tradisi kepercayaan Jawa tersebut. Wibi pun tidak bisa menyebutkannya satu persatu tanpa melihat dalam buku pedoman yang disebut dengan nama buku Primbon. Buku Primbon itu pemberian ayah Wibi sekitar tiga tahun sebelum meninggal. Dengan harapan ada cukup waktu bagi Wibi untuk mempelajari kembali tradisi yang telah lama dia lupakan dengan bimbingan ayahnya.
Buku itu sebenarnya masih tersimpan dengan rapi. Tetapi hanya kadang-kadang saja Wibi membacanya sekedar untuk mengingat-ingat kembali warisan leluhur dahulu. Dan buku Primbon itu sendiri sepertinya hanya menjadi sebuah buku dongeng tentang tradisi leluhur yang telah dilupakan. Walau ada rasa ketertarikan dalam diri Wibi dengan adat dan budaya leluhur tetapi dia tidak tuntas dan tidak sepenuhnya memahami aturan-aturan itu. Sehingga tidak ada niat untuk melaksanakannya.
Banyaknya uborampe yang harus disiapkan untuk ritual acaranya juga membuat Wibi enggan melaksanakan tradisi tersebut. Selain itu, menurut Wibi, ada bias dalam ritual persembahannya. Ditujukan kepada siapa sebenarnya permohonan dan aturan-aturan itu ditaati serta dilaksanakan. Karena ritual sesajen itu biasanya dilakukan dan uborampenya ditempatkan pada tempat-tempat tertentu yang diyakini terdapat lelembut atau makhluk-makhluk gaib lainnya.
Meskipun begitu Wibi dan Ratri tetap percaya akan adanya lelembut. Karena menurut keyakinannya lelembut itu juga diciptakan oleh Gusti Alloh. Mereka menempati suatu tempat yang lain di alam manusia ini dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Suatu alam yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa. Tetapi dalam kepercayaan Jawa sugesti pikiran manusia melalui pemberian sesajen dan mantra-mantra dapat mengundang atau menghadirkan lelembut dari alamnya agar muncul di alam sadar manusia untuk dimintai pertolongan.
Tetapi sebaliknya, mereka kadang-kadang agresif juga sehingga suka mengganggu manusia. Mereka memanfaatkan celah-celah kelemahan berpikir dan kecerobohan tingkah laku manusia. Kalau sudah begitu lelembut tersebut akan muncul dengan sengaja di alam sadar manusia. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, dalam kepercayaan Jawa mengharuskan seseorang untuk menaati pantangan-pantangan)* ataupun memberikan sesajen di tempat-tempat tertentu untuk meredam gangguan dan kemarahan lelembut tersebut.