Pukul satu kurang lima belas menit. Siang itu di ruang tunggu dokter praktik kandungan di sebuah Rumah Sakit Swasta di Kota Solo terasa panas bagi Wibi. Udara dingin yang berembus dari kotak-kotak pendingin udara di setiap sudut ruangan itu tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa pada tubuh Wibi.
Mungkin saraf-saraf perasa dingin di kulit tubuhku telah mati rasa. Dan hawa panas yang membalut tubuhku ini mengapa tidak memunculkan setitik keringat pun di kulit tubuhku?
Keanehan ini menyebabkan rasa gelisah yang perlahan-lahan mencengkeram hatinya. Detak jantung Wibi berpacu dengan detik jarum jam dinding di ruang tunggu tersebut. Entah mengapa Wibi merasa tidak nyaman selama duduk menunggu di kursi itu.
Ini tidak wajar dan pasti akan terjadi sesuatu, begitu pikir Wibi.
Berkali-kali dia mengubah posisi duduk dan menggeser pantatnya untuk mencari posisi yang nyaman di kursi. Karena itu pula Wibi tidak memperhatikan nomor urut periksa untuk istrinya. Tiba-tiba salah seorang perawat jaga berdiri di belakang mejanya sambil menyebutkan nama Ratri, istrinya.
"Ibu Ratriningtyas! Silakan masuk!"
"Ayo, Rat ... ini giliranmu," kata Wibi gugup. Wibi segera menggandeng tangan Ratri dan mengajaknya masuk ke dalam ruang praktik dokter. Mereka disambut oleh seorang perawat yang langsung menyuruh duduk di kursi pasien. Sang dokter masih terlihat muda dan mungkin juga masih muda dalam pengalamannya.
"Ada keluhan apa?" tanya dokter muda itu sambil membetulkan letak kacamatanya dan menatap Ratri.
"Tidak ada keluhan apa-apa, Dok. Cuma kontrol rutin biasa." Dokter itu kemudian membaca buku riwayat periksa kandungan Ratri. Terlihat dia mengerutkan dahinya dan memperhatikan Ratri lagi.
"Ini kontrol yang ke berapa?" tanya dokter.
"Yang ketiga, Dok," jawab Ratri.
Bukankah dokter itu sudah membaca buku kontrol periksa? Mestinya dia sudah tahu. Kenapa mesti tanya segala? Wibi hanya bisa menggerutu dalam hati. Sementara rasa gelisah itu belum juga mau keluar dari pikirannya.
Wibi mencoba bersikap tenang saat sang dokter mempersilakan Ratri berbaring untuk diperiksa kandungannya. Dibantu perawat itu lagi, sang dokter mempersiapkan alat Ultra Sonografi (USG) untuk melihat perkembangan bayi yang ada di dalam rahim Ratri. Dokter muda itu kemudian menempelkan alat sensor USG pada perut Ratri. Matanya memperhatikan layar monitor kecil berwarna hitam putih di depannya tanpa berkedip. Terlihat dia mengerutkan dahinya kembali dan berkali-kali menggerakkan alat sensor itu untuk mencari-cari posisi yang bagus untuk melihat gambarnya.
Agak lama dokter itu mengamati gambar calon bayi di layar monitor USG. Wibi memperhatikan mulut dokter muda itu bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Dan sepertinya dia tidak puas dengan hasil pemeriksaannya sendiri. Lama dokter muda itu memperhatikan gambar itu. Kemudian ditekannya tombol-tombol pada monitor tersebut dan tak lama kemudian muncul dua lembar foto rontgen hasil sensor USG. Dokter itu mengambilnya dan menuju meja kerja. Dengan serius dia mengamati kedua foto tersebut. Wibi mengikuti dan duduk di depan mejanya. Sejenak mereka terlihat diam. Sementara itu Wibi masih tampak gelisah sambil memperhatikan raut wajah sang dokter.
"Ada apa, Dok?" Wibi penasaran dan mencoba bertanya padanya. Tapi dia tidak memperoleh jawaban sepatah kata pun.
Dokter muda itu tetap diam dan pandangan matanya tidak bergeser sedikit pun dari kedua foto rontgen itu. Sikap dokter muda itu membuat Wibi semakin gelisah. Tak lama kemudian Ratri menyusul dan duduk di sampingnya. Dia juga ikut memperhatikan dokter itu. Dengan harap-harap cemas dia menanyakan keadaan bayi di perutnya.
"Bagaimana bayi saya, Dok?" tanya Ratri.
"Calon bayi ... itu baru calon bayi!" jawab sang dokter sambil menatap tajam mata Ratri.
"Ee ... iya, Dok, calon bayi. Terus calon bayi saya kenapa, Dok?" tanya Ratri gugup sambil melirik ke arah Wibi.