Sepertinya lelembut itu sudah mengambil perannya dalam kehidupan Ratri. Lelembut itu masuk ke dalam situasi ini karena pengaruh sugesti pikiran Mbok Sum yang diberikan pada Ratri untuk mempercayai kembali tradisi leluhur dengan melaksanakan ritual sesajen.
"Mas, mungkin Simbok lupa membuatkan bancakan weton untuk calon anakku. Biasanya setelah pertengahan bulan. Tapi ini ... sudah hampir akhir bulan. Aku akan menanyakannya pada Simbok, Mas," kata Ratri dengan pandangan sayu.
Pandangan mata itu seperti menyiratkan akan runtuhnya tembok penghalang yang telah sekian lama mengurung tradisi leluhur dalam pikirannya. Wibi membalas pandangan mata istrinya dengan senyuman dan mencoba memberi semangat padanya. Wibi hanya bisa berharap agar Ratri tidak memukul-mukul genderang keraguan dalam hatinya yang dapat menggetarkan tembok penghalang itu.
"Ratri ... hilangkan keraguanmu. Ada atau tidak adanya bancakan dan sesajen itu ... kejadian yang menimpamu tetap bisa terjadi karena kehendak Gusti Alloh. Berdoa dan pasrah kepada-Nya, ya, Rat. Aku selalu di sampingmu."
Malam pun semakin larut. Dan rasa kantuk mulai menyerang mereka berdua. Wibi mengajak Ratri masuk ke kamar. Senyum manis kembali menghiasi bibir tipis Ratri. Ditepisnya keraguan dalam hati dan diurungkan niatnya untuk menanyakan perihal bancakan itu pada Simboknya.
***
Ratri terlihat duduk di ruang tamu sambil mengelus-elus perutnya yang sudah kelihatan besar. Wajahnya terlihat kurang bersemangat. Ingatannya kembali pada kejadian satu bulan yang lalu ketika terdengar sebuah senandung gaib yang mengganggu kandungannya. Kini enam bulan sudah usia kandungannya. Dia duduk di sana menunggu Wibi yang sedang memandikan Ayu.
Lelembut itu memang ada dan telah menggangguku. Bulan ini Simbok belum membuatkan bancakan selamatan untuk bayiku. Aneh ... kenapa aku jadi berharap akan adanya bancakan itu? Apakah lelembut itu telah mempengaruhi pikiranku? Benar kata mas Wibi, aku harus pasrah pada Gusti Alloh, Ratri memperhatikan perutnya.
"Sehat ya, Dik. Semoga Gusti Alloh selalu menjagamu," kata Ratri dengan suara lirih.
Tak lama kemudian Ayu dengan seragam sekolah TK-nya sudah keluar kamar menuju ruang tamu dan menghampiri ibunya.
"Ibu ... ayo berangkat!" seru Ayu.
"Sebentar, Sayang, nunggu ayah. Kita berangkat diantar ayahmu."
"Ooo, kita diantar ayah, to? Terus, ayah langsung berangkat kerja?"
"Tidak, Ayu! Ayahmu libur hari ini. Nanti mau mengantar ibu periksa adikmu."
"Yee ... Ayah libur! Ayah libur ...! Bisa main bersamaku!" teriak Ayu kegirangan.
Ratri tersenyum melihat tingkah Ayu yang sedang mengekspresikan kegembiraannya. Tak lama kemudian Wibi keluar kamar sudah bersiap mengantar istri dan anaknya. Dia segera menuju garasi mengeluarkan sepeda motornya. Saat itu Wibi berpapasan dengan Mbok Sum yang baru saja pulang berbelanja sayur pada pedagang sayur keliling yang biasa mangkal di perempatan jalan. Cukup banyak juga barang belanja bawaannya. Tak lama kemudian Ratri dan Ayu menyusul ke luar rumah dan bersiap naik di boncengan motornya.
"Simbok belanja banyak hari ini. Mau buat sesajen dan bancakan weton lagi untuk kamu dan bayimu, Nduk," kata Mbok Sum sambil tersenyum.