Perjanjian Ketiga

bomo wicaksono
Chapter #11

Ular Tunggon

Wibi melihat masih ada beberapa potong pisang goreng di meja. Sejenak Wibi melepas lelah dan menghempaskan tubuhnya di kursi tamu sambil menikmati pisang goreng buatan Mbok Sum. Pikirannya melayang mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah menimpa keluarganya semenjak insiden Hari Selasa Kliwon dahulu.

Memang benar apa yang telah diucapkan Simbok bahwa kejadian di kehidupan ini sudah ada hitungannya sendiri-sendiri. Bahkan daun yang jatuh dan debu yang tertiup angin pun ada hitungannya. Setiap kejadian merupakan bagian dari sebuah puzzle kehidupan yang lebih besar. Setiap kejadian akan mengakibatkan kejadian berikutnya begitu terus sambung-menyambung. 

Mungkin saja kejadian jatuhnya cecak tersebut merupakan pertanda kelanjutan dari dilanggarnya pantangan bepergian pada Hari Selasa Kliwon beberapa bulan yang lalu. Dan akan membawa akibat pada kejadian-kejadian berikutnya di kehidupan rumah tanggaku kelak. Lambat laun pikiran Wibi mulai tersugesti dengan peran lelembut yang masuk dalam kehidupannya.

Tiba-tiba Wibi mendengar teriakan Ratri dari dalam kamarnya. Segera Wibi meninggalkan pisang goreng yang baru separuh dimakannya di atas meja dan berlari menuju ke kamarnya. Wibi mendapati Ratri dengan ekspresi ketakutan berdiri bersandar pada tembok kamar. Kedua tangannya mendekap baju daster yang belum sempat dipakainya di depan dada. Pandangan matanya ke arah tempat tidur. Sementara jendela kamar di samping tempat tidur sedikit terbuka.

"Ada apa, Rat? Ada yang mau mengganggumu?" tanya Wibi ketika sudah masuk ke dalam kamar. Ratri tidak bisa menjawabnya karena rasa ketakutan itu masih mencengkeram jiwanya.

Dengan hati-hati Wibi berjalan mendekati jendela dan menengok ke arah luar. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan tanda-tanda bekas seseorang pun tidak ditemuinya. Wibi menoleh ke arah Ratri. Dia melihat Ratri menunjuk dengan tangan kirinya.

"Bu ... bukan ... di jendela, Mas. Tapi di ... di atas bantal itu!" kata Ratri dengan gugup.

Wibi mengalihkan pandangannya ke arah tempat tidur. Betapa terkejutnya Wibi saat melihat seekor ular berukuran sedang melingkar di atas bantalnya. Ular berwarna coklat kekuningan itu seperti menatap Wibi dan perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Terlihat lidahnya bercabang dan menjulur-julur keluar.

Ada yang aneh dengan bentuk dan warna kepala ular itu. Dari kejauhan, kepala ular berwarna kuning keemasan itu seperti memakai mahkota. Sorot matanya berwarna merah memancarkan amarah. Wibi merasa merinding ketika beradu pandang dengan ular tersebut. Dan semilir angin berembus pelan, ular itu mendesis mengeluarkan aura mistis ke sekitarnya.

Ular adalah simbol kejahatan. Jika masuk rumah menandakan adanya kekuatan gaib atau lelembut yang akan mengganggu penghuninya. Sedikit banyak Wibi mulai mempercayai apa yang telah diucapkan oleh Mbok Sum. Kejadian ini dan kejadian-kejadian sebelumnya memberi tanda pada Wibi bahwa lelembut itu memang ada dan selalu mengikuti ke mana pun Ratri dan anaknya berada.

Tak lama kemudian Mbok Sum menyusul ke kamar Ratri karena mendengar jeritan Ratri. "Ada apa, Nduk?" tanya Mbok Sum.

Lihat selengkapnya