Malam itu belum begitu larut bagi Wibi dan Ratri. Mereka masih saja asyik di ruang tengah sambil melihat acara televisi. Tetapi udara dingin malam itu bagaikan sirep bagi Ratri. Berkali-kali dia menguap meskipun berusaha untuk tetap terjaga di samping Wibi. Sementara Wibi sendiri masih asyik membolak-balik halaman buku Primbon peninggalan ayahnya. Sementara Ayu sudah terlelap tidur di kamarnya sendiri setelah sebelumnya ditemani oleh Mbok Sum.
Malam semakin dingin dan terasa agak mencekam bagi Ratri. Tiba-tiba rasa kantuknya menghilang. Dia merasa aneh dan gelisah. Dunia yang dia tempati perlahan-lahan seperti berubah bagai dunia lain baginya. Sepasang mata seolah-olah sedang mengawasi Ratri. Terbayang olehnya kuku-kuku panjang siap untuk menerkamnya seperti dulu. Saat itu lima belas menit menjelang pukul dua belas malam. Dan Wibi pun merasakan kegelisahan hati istrinya.
"Kamu kenapa, Rat?"
"Tidak tahu, Mas. Aku takut! Seperti ada yang mengawasiku." Wibi beranjak dari tempat duduknya dan mematikan televisi. Kemudian dia menghampiri Ratri dan melingkarkan tangannya ke pinggang Ratri untuk membantunya berdiri. Begitu dekat jarak wajah mereka.
"Masuk ke dalam yuk!" ajak Wibi. Ratri tersenyum manja. Dan mereka saling bertatap mata. Tangan Ratri melingkar di leher Wibi.
"Hmm ... Rat, kamu ...." Kecupan lembut mendarat di bibir Ratri. Dia memejamkan matanya merasakan sensasi rasa ketika Wibi membelai lembut pipi dan lehernya.
"Mas ...." Ratri mendesah perlahan ketika tangan itu menyentuh dadanya. Mereka semakin bergairah dan baru menyadari di mana mereka berada ketika terdengar suara pintu kamar dibuka. Wibi menghentikan cumbuannya ketika Mbok Sum melangkah keluar kamar.
"Simbok belum tidur, to?" tanya Ratri.
"Ee ... belum. Kalian juga belum mengantuk?" jawab Mbok Sum sambil menutup pintu kamar Ayu.
"Ini mau berangkat tidur, Mbok," kata Wibi sambil membantu Ratri berdiri. Ratri hanya tersenyum saja mengikuti kemauan suaminya.
Mereka kemudian berjalan menuju kamarnya. Sementara Mbok Sum tetap berdiri memperhatikan mereka masuk kamar dan menutup pintunya. Meski kandungannya telah berusia tujuh bulan Ratri masih tetap ingin bermanja-manja dalam pelukan suami tercintanya. Wibi pun paham apa yang harus dilakukannya malam itu. Mereka beradu rasa kembali untuk menuntaskan gairah yang telah terlanjur menyala.
"Sebentar ...," kata Wibi melepas pelukan Ratri dan beranjak keluar kamar.
Sebentar kemudian Wibi sudah masuk kembali dan meletakkan buku Primbonnya di atas meja. Dia menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Ratri. Dipandanginya wajah manis Ratri yang sudah tidak sabar menunggu Wibi mencumbunya kembali.
"Rat," kata Wibi memecah kesunyian malam di kamar, "aku tadi melihat Simbok membawa tampah kecil keluar lewat pintu belakang. Mau ke mana Simbok, ya?"
"Kenapa sih, Mas, ngurusi Simbok lagi?" tanya Ratri dengan wajah cemberut.