Perjanjian Ketiga

bomo wicaksono
Chapter #14

Sosok Lain dalam Diri Mbok Sum

Hari telah berganti hari. Beberapa pekan pun telah terlewati. Tapi semua itu terasa berjalan lambat bagi Ratri. Usia kandungan Ratri pun semakin menua mendekati hari perkiraan lahirnya. Dan kejadian-kejadian misteri yang selalu menyertainya membuat dia semakin gelisah dan semakin membuat celah di pikirannya.

Haruskah aku menerima tawaran Simbok untuk menebus kesalahanku dengan melaksanakan kembali tradisi bancakan dan sesajen? Apakah semua gangguan lelembut tersebut akan berakhir dengan cara itu?

Ratri kembali teringat pada Nenek Bongkok yang mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Dia meminta dirinya! Ratri semakin takut karena menduga lelembut itu akan mencari tumbal atau akan mencelakainya jika dia tidak mau memberikan sesajen padanya.

Tapi bagiku sesajen itu akan membuatku tergantung terus pada lelembut dan mengesampingkan kekuasaan Gusti Alloh. Hal ini bertentangan dengan prinsip dan keyakinan hidupku selama ini. Ratri berada di persimpangan logikanya.

***

Akhir pekan ini Ratri minta ijin istirahat sehari dari pekerjaan mengajarnya. Dia duduk termangu sendiri di kursi ruang makan. Di depannya terdapat gelas yang masih berisi susu hangat. Dipegangnya gelas tersebut. Dipandanginya dan seteguk demi seteguk diminumnya sambil menghela nafas panjang untuk meredam rasa gelisahnya.

"Simbok perhatikan dari tadi kamu sepertinya gelisah terus. Ada apa, Nduk?" tanya Mbok Sum. Ratri tetap diam dan hanya memandang Simboknya sambil mencoba sedikit tersenyum.

"Apa ada masalah dengan kandunganmu?" lanjut Mbok Sum. Ratri hanya menggeleng. Pandangannya kembali menatap gelasnya yang masih tersisa susu hangat setengahnya. Kedua tangannya memegang gelas itu dan perlahan-lahan memutarnya. Pikirannya pun ikut berputar. Dia ragu apakah harus menceritakan kegelisahan hatinya selama ini pada simboknya. Tentang kejadian misteri yang telah dialaminya juga keraguan tentang bancakan dan sesajen yang harus ditepatinya.

"Ayo, Nduk, cerita pada Simbok. Mungkin Simbok dapat membantumu," bujuk Mbok Sum sambil mendekat ke samping Ratri dan memegang pundak kanannya.

Ratri menoleh dan menatap Mbok Sum dalam-dalam. Mereka beradu pandang cukup lama seolah-olah ingin mengetahui isi hati masing-masing. Ratri merasakan ada keanehan dalam tatapan mata Mbok Sum. Hatinya menjadi gelisah dan anak dalam kandungannya ikut bergerak-gerak seakan ikut merasakan kegelisahan hati ibunya. Ratri memegang perutnya dan membelai lembut untuk menenangkannya.

Anakku ... kenapa kamu, Nak? Apakah kamu juga merasakan kegelisahan ibumu? Ratri mengalihkan pandangan matanya ke bawah sambil memandangi perut besarnya.

Dia teringat kejadian waktu di kelas dan di kamarnya saat terdengar bunyi senandung seorang anak perempuan. Saat ini anak dalam kandungannya juga bergerak-gerak seperti waktu itu. Ratri tak habis mengerti mengapa tatapan mata Mbok Sum memberikan pengaruh yang sama pada anak dalam kandungannya.

Anak kecil dan Nenek Bongkok itu lelembut, sedangkan Simbok manusia biasa seperti diriku. Aku merasa memang ada yang tidak wajar pada diri Simbok. Dia membenarkan apa yang menjadi kecurigaan suaminya. Kembali Ratri memandangi wajah Mbok Sum yang masih terlihat awet muda dan cantik.

"Mbok, apakah ibu juga secantik Simbok?"

Mbok Sum tersenyum. "Ibumu lebih cantik, seperti kamu, Nduk. Bukan seperti Simbok." Mbok Sum mengambil kursi kemudian duduk di dekat Ratri.

Lihat selengkapnya