Perjanjian Ketiga

bomo wicaksono
Chapter #15

Bukan Nenek Kandung

Hari itu begitu cepat berlalu ketika Ratri menikmati libur cuti seharinya bersama Ayu di rumah. Tak terasa hari telah beranjak sore. Dan mentari pun telah turun ke peraduannya.

"Ayah kok belum pulang?" tanya Ayu sambil berdiri di depan pintu memandangi lembayung jingga yang perlahan tertutup hamparan mendung kelabu.

"Ayahmu lagi ada tugas ke luar kota. Mungkin agak malam pulangnya."

"Kasihan ayah kalau ke luar kota pasti kehujanan," kata Ayu sambil memperhatikan titik-titik air hujan yang mulai turun dari langit.

Ratri tersenyum mendengarnya. Dia segera menggandeng Ayu untuk masuk ke dalam. Sementara hujan turun semakin deras menemani mereka berdua sepanjang sore hingga malam menjelang. Saat sang ayah pulang, Ayu sudah terlelap dibuai mimpi indahnya.

Selesai mandi, Wibi menemui Ratri di kamarnya.

"Ayu sudah tidur, Rat?"

"Sudah, barusan. Kelamaan nunggu kamu terus ketiduran."

Sebentar kemudian Wibi keluar dari kamarnya menuju kamar Ayu. Dia menengok ke dalam. Dipandanginya anak pertamanya yang telah tertidur lelap itu. Udara dingin karena hujan yang belum juga mau berhenti semenjak sore tadi mengharuskan Wibi membetulkan letak selimut Ayu. Wibi kemudian kembali keluar menuju kamarnya.

"Kenapa ya, Mas, Simbok selalu mengadakan bancakan dan membujukku terus agar mau melakukan tradisi ini?" tanya Ratri ketika melihat Wibi masuk ke kamar. Wibi kemudian duduk di tepi pembaringan. Ratri pun bangun dari tidurnya dan duduk di samping suaminya. Dipegangnya pundak Wibi dan dipijitnya secara lembut. Wibi pun menoleh dan memberikan ciuman di pipi Ratri.

"Dan itu dilakukan sejak dulu, Mas, sejak kita belum menikah bahkan sejak aku masih kecil. Tapi kenapa juga malah mendiang ayah melarangku dan menjauhkan aku dari tradisi ini. Aku benar-benar tidak memahami itu semua." Ratri memandang lembut pada Wibi sambil terus memijit lengan dan tangannya. Sejenak mereka terdiam.

"Sepertinya Simbok mempunyai maksud tertentu, Rat," jawab Wibi sambil menoleh ke arah Ratri. Dibelainya rambut hitam panjang istrinya itu.

"Tidak banyak yang sempat ayahmu ceritakan padaku, Rat. Ayahmu cuma berpesan agar aku benar-benar menjagamu dan kedua anak kita kelak dari ritual bancakan dan sesajen yang sering dilakukan Simbok. Sepertinya ayahmu telah mencurigai Simbok, sama seperti kecurigaanku saat ini," lanjut Wibi.

"Kenapa ayah tidak pernah bercerita kepadaku?" Sejenak mereka saling beradu pandang.

"Karena kecurigaan itu belum bisa dibuktikan. Dan mungkin ayahmu tidak ingin ada kesalahpahaman yang berujung pada dendam di keluarga Ndoro Sastro ini," kata Wibi sambil menghela napas panjang.

"Belum bisa dibuktikan? Berarti sudah ada kejadiannya?"

"Sudah menurut ayahmu. Ayahmu menduga, kematian ibumu disebabkan oleh Simbok."

Lihat selengkapnya