Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wibi sudah terlihat keluar rumah bersama Ayu. Hari libur ini dimanfaatkan oleh mereka untuk membersihkan pekarangan rumahnya setelah semalam diguyur hujan cukup lebat. Apalagi bulan Desember ini hampir setiap sore turun hujan dengan derasnya.
"Ayo, Ayu, kita bersihkan halaman depan rumah, mumpung matahari bersinar cerah pagi ini," kata Wibi sambil membawa sapu lidi dan tempat sampah.
"Aku saja yang menyapunya, Ayah." Ayu meminta sapu yang dipegang ayahnya.
"Baiklah, tapi kamu cabuti dulu rumput liar itu supaya tidak mengganggu tanaman bunga-bunga yang dipelihara ibumu," kata Wibi lagi sambil menunjukkan tempat-tempat yang harus dicabut rumput liarnya.
Ayu pun menuruti kata-kata ayahnya. Wibi kemudian mengambil gunting tanaman. Dia segera memotong-motong dahan tanaman pagar agar terlihat rapi. Mereka berdua bekerja sama dengan baik.
"Ayu, ini nanti disapu juga, ya!" kata Wibi dari balik pagar tanaman.
"Iya, Ayah," jawab Ayu dengan semangat.
Tak lama kemudian Ratri keluar rumah membawa baki dengan dua gelas teh hangat dan satu piring pisang goreng dan pisang molen.
"Kalau sudah capek bersih-bersih, istirahat dulu. Makan pisang goreng dan pisang molen supaya bersemangat lagi," kata Ratri.
"Hore ...! Ada pisang molen kesukaanku." Ayu melempar sapu kemudian berlari menyambut ibunya.
"Eh, Ayu ... ayo cuci tangan dulu sebelum makan!" kata ibu mengingatkan. Ayu segera berlari menuju kran air di samping rumah.
Sementara Wibi sudah duduk di kursi teras sambil menyeruput teh hangat buatan istrinya. "Wah banyak makanan nih," kata Wibi.
"Iya, Mas. Tadi pagi-pagi sekali Simbok sudah pergi ke pasar sama Mbokdhe)* Pawiro. Belanja untuk keperluan bancakan sepasaran)* cucunya Mbokdhe. Sekalian saja aku nitip beli makanan ini," kata Ratri. Dia duduk di kursi samping Wibi.
"Simbok memang tidak bisa dipisahkan dari bancakan. Kamu tetap harus hati-hati meski bancakan itu tidak di keluarga kita. Apalagi kalau ada ritual sesajen setelahnya. Karena tujuan Simbok yang sebenarnya adalah kamu, Rat." Wibi memegang sebelah tangan Ratri.
"Iya, Mas," kata Ratri sambil mengelus-elus perut besarnya.
Wibi kemudian meletakkan gelasnya dan menjulurkan tangan untuk mengambil pisang goreng. Tapi sebuah tangan mungil menahannya.
"Ayah belum cuci tangan!" kata Ayu mengingatkan.
"O iya, ayah hampir lupa." Wibi segera beranjak dari tempat duduknya menuju kran air di samping rumah. Setibanya di sana Wibi melihat Mbok Sum sedang mengangkat peralatan dapur keluar dari pintu belakang.
Itu Simbok! Meski aku menaruh curiga padanya, aku tetap harus terlihat wajar.
"Sini, Mbok. Aku bantu membawanya," kata Wibi sambil berjalan mendekat.