Saat itu Wibi juga bermaksud mengejar Mbok Sum. Dia merasa khawatir akan ada korban jiwa karena Mbok Sum menyertakan darah dalam ritual sesajennya. Tapi langkah itu dicegah oleh Ratri meskipun rasa gelisah masih menghinggapi hatinya. Ratri masih belum dapat menghilangkan sepenuhnya sugesti Mbok Sum tentang lelembut tersebut.
"Jangan dikejar, Mas! Biarkan Simbok pergi. Tidak enak kalau ada tetangga yang kebetulan lewat dan melihat kita ribut-ribut dengan Simbok."
"Iya, Rat ... semoga tidak terjadi apa-apa." Wibi masih termangu memandangi Simbok yang terus melangkah masuk pintu pagar besi hingga hilang dibalik pepohonan kebun kosong keluarganya. Ada sesuatu yang masih mengganjal dalam benaknya.
Darah siapakah itu? Sesajen itu akan meminta korban. Karena baurekso pasti akan meminta darah korbannya pada sesajen berikutnya, kata Wibi dalam hati.
"Ada apa, Mas?" Ratri memperhatikan Wibi yang masih saja berdiri terpaku sambil memandang ke arah pohon asem tua itu.
"Sajen itu, Rat. Aku khawatir akan terjadi sesuatu pada kita!" Wibi membalikkan badan dan menatap Ratri dalam-dalam.
"Mas, jangan membuatku semakin takut. Ada apa dengan sajen itu?" Ratri terlihat gelisah.
"Eee ... tidak! Semoga saja aku hanya salah lihat." Wibi terlihat menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya. Tetapi Ratri melihat raut muka Wibi masih tampak tegang. Mereka berdua tidak menyadari kalau telah terpengaruh dengan ritual sesajen yang dilakukan oleh Mbok Sum dan terjebak dalam permainannya. Lelembut itu benar-benar telah mengambil peran dalam kehidupan mereka.
"Ayo, Rat, kita lanjutkan perjalanan kita." Wibi menghidupkan kembali sepeda motornya. Sementara Ratri segera naik di boncengan belakang. Sepeda motor mereka berjalan perlahan menyusuri jalan tanah berdebu meninggalkan tempat itu. Hingga tiba di sebuah pertigaan jalan, Wibi membelokkan arah sepeda motornya menuju jalan raya.
Siang itu jalanan tidak begitu ramai karena bertepatan dengan hari libur. Kendaraan dan mobil yang melintas terlihat dengan kecepatan agak tinggi. Wibi pun berusaha berhati-hati dan menghentikan sejenak laju sepeda motornya sebelum menyeberang.
"Pelan-pelan saja, Mas. Perasaanku nggak enak setelah berdebat dengan Simbok tadi." Ratri memegang erat pinggang Wibi. Dia merasa khawatir Wibi tidak fokus di jalan yang sedang mereka lewati. Wibi hanya mengangguk mendengar saran Ratri. Tetapi pikirannya masih tertuju pada sesajen yang dibawa Mbok Sum.
***
Sementara itu Mbok Sum telah sampai di depan pohon asem tua di kebun kosong itu. Semilir angin dingin berembus pelan menyambut kedatangannya. Suara gemericik air sungai Bengawan Solo pun menambah suasana mistis di sana. Mbok Sum terlihat berdiri mematung dengan membawa tampah sesajennya. Dipandanginya pohon asem tua itu.
Pohon asem itu terlihat begitu angker. Daunnya sangat rimbun hingga membuat lingkungan sekitarnya menjadi teduh dan lembap karena terhalanginya sinar mentari yang masuk ke sana. Tapi anehnya pohon asem itu tidak pernah berbuah melainkan hanya sedikit saja. Buah asem yang hanya sedikit itu pun tidak pernah matang dan akan tetap menempel terus pada ranting-rantingnya. Begitu juga dengan daun-daunnya. Tidak pernah menguning dan tidak pernah jatuh ke tanah meskipun ditiup angin kencang. Itulah mengapa di sekitar pohon asem itu terlihat bersih dari dedaunan bahkan rumput liar pun hanya sedikit yang tumbuh di sana.
Batang utama pohon asem itu mencapai selebar lebih dari dua rentangan tangan orang dewasa. Bagian batang pohon paling bawah sebagian terbelah dua mirip sepasang kaki manusia memakai kain. Pada bagian batang yang bersinggungan dengan tanah hingga setinggi lutut terlihat kulit kayunya retak-retak berwarna coklat gelap dan sebagian telah mengelupas menandakan usia pohon asem itu sebenarnya sudah sangat tua. Tapi semakin ke atas kulit kayunya terlihat halus dan semakin ke atas lagi banyak terdapat tonjolan bulat-bulat kecil. Secara keseluruhan batang pohon asem itu berwarna coklat muda seperti warna kulit manusia.
Mbok Sum meletakkan tampah sajen di depan bagian bawah pohon yang terbelah. Di sana sudah ada tungku kecil tempat biasa Mbok Sum membakar kemenyan. Mbok Sum duduk bersimpuh dan segera menyulut api ditungku itu. Mulutnya komat-kamit membaca mantra untuk baurekso Wewe Gombel. Tercium bau kemenyan dan asap putih membumbung ke atas. Pandangan mata Mbok Sum mengikuti asap putih itu.