Pagi itu Ratri berjalan-jalan tanpa alas kaki di depan rumahnya. Usia kandungannya telah menginjak tiga puluh empat minggu, sudah cukup tua untuk melahirkan. Tetapi bayangan ular tunggon kembali muncul di benaknya juga tentang Nenek Bongkok yang akan meminta bayinya. Perasaan takut kembali menyelimuti hatinya.
Apakah aku dan bayiku dapat selamat dari gangguan lelembut-lelembut itu? Aku seharusnya menuruti kata-kata Simbok dan memberikan sesajen pada baurekso, kata Ratri dalam hati.
"Ayu, ayo berangkat bareng ayah. Nanti pulangnya dijemput Bi Warsi." Terdengar suara Wibi keluar dari rumah sambil menuntun sepeda motornya. Ratri pun mendekatinya.
"Kenapa dengan Simbok, Mas. Sampai harus Bi Warsi yang menjemput Ayu? Tidak seperti biasanya," tanya Ratri memandang heran pada Wibi sambil mengelus-elus perut besarnya.
"Aku harus memberi jarak pada kalian dengan Simbok. Seperti yang pernah dilakukan oleh ayahmu dahulu," jawab Wibi.
"Kenapa Simbok harus dijauhi, Mas?" Ratri memegang tangan Wibi.
"Ratri ... apa kamu sudah lupa kejadian tempo hari di pohon asem tua?" Wibi memperhatikan raut wajah Ratri. Ada sedikit perubahan. Tatapan matanya menggambarkan sedikit kekosongan jiwanya. Wibi merasakan ketegaran hati Ratri mulai goyah.
"Iya juga sih, Mas. Aku masih takut jika ingat kejadian itu."
"Makanya, kita harus lebih hati-hati lagi terhadap Simbok. Aku takutnya kamu terpengaruh lagi dengan omongan Simbok. Mungkin Simbok bisa berbuat lebih nekat lagi bahkan terhadap Ayu sekalipun." Ratri hanya tersenyum dan mengangguk mendengar penjelasan Wibi.
"Ayo, Ayu, cepat sedikit. Ntar ayahmu terlambat masuk kerja. Nanti tunggu Bi Warsi yang jemput, ya," pesan Ratri pada Ayu.
"Iya, Bu," jawab Ayu sambil mencium tangan Ratri dan terus berlari kecil mendekati Wibi.
"Rat, aku berangkat dulu. Aku mungkin pulang telat, semoga tidak sampai terlalu malam. Jaga dirimu dan Ayu baik-baik." Ratri pun mengangguk dan mencium tangan Wibi serta melepas keberangkatan mereka dengan senyuman.
Sementara itu Mbok Sum memperhatikan mereka dari pintu rumah belakang. Setelah kejadian di pohon asem tua mereka memang saling menjaga jarak. Mbok Sum merasa sebagian rahasia masa lalunya tentang kematian ibunya Ratri dan sesajen yang sering dilakukannya sudah diketahui oleh Wibi. Hal itu ditunjukkan dengan penolakan Wibi pada ritual bancakan dan sesajen yang akan dilakukan oleh Ratri. Meskipun Wibi belum bisa membuktikannya secara nyata. Sehingga Mbok Sum pun berusaha keras harus bisa mempercepat ritual sesajen untuk mengorbankan Ratri.
Ratri sudah dalam pengaruh kembang kantil, dia akan menuruti semua omonganku. Dan akan mudah aku korbankan untuk baurekso. Begitu juga dengan Ayu. Sebentar lagi keinginanku bakal terpenuhi semua, kata Mbok Sum dalam hati. Dia segera bergegas menuju dapur untuk memulai kegiatan paginya.
***
Sudah beberapa hari ini, tepatnya setelah insiden kecelakaan motor, Ratri mengambil cuti melahirkan. Dia menghabiskan sisa waktu cuti mengajarnya di rumah dengan ditemani oleh Bi Warsi, seorang perempuan tua yang telah menjadi pembantu rumah tangganya saat Ratri masih dalam kandungan. Suasana rumah yang sepi tidak seperti suasana sekolah tiba-tiba saja mengingatkan Ratri pada sosok mendiang ibunya.
"Bi, aku kangen sama ibu. Ceritakan tentang ibu, Bi. Mengapa waktu itu ibu cepat pergi meninggalkan aku?" Pandangan mata Ratri menerawang jauh keluar melalui jendela kamar tamu.
Bi Warsi memandang Ratri dalam-dalam, kasihan Den Ratri ini. Semoga tidak bernasib buruk seperti ibunya, katanya dalam hati.
"Kenapa, Bi. Apa ada yang disembunyikan dari kematian ibuku?" Ratri membalas tatapan mata Bi Warsi.
"Tidak ada, Den Ratri. Saya tidak tahu persis kejadiannya. Yang saya tahu ibu Den Ratri meninggal di kamarnya sambil mendekap tiga kuntum bunga kantil."