Perjanjian Ketiga

bomo wicaksono
Chapter #21

Ular Cahaya

Sementara itu terlihat dua sosok perempuan berjalan menembus dinginnya malam di sebuah kampung di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Mereka berjalan tertatih-tatih menyusuri jalanan di sepanjang kebun kosong tepi sungai menuju ke suatu tempat. Sesekali mereka berhenti. Sedang mereka sudah menempuh separuh lebih perjalanannya. Terlihat seorang di antara mereka berjalan sambil memegangi perut besarnya.

"Ayo, Nduk, lebih cepat sedikit! Keburu suamimu pulang dan mencarimu." Rupanya malam itu Mbok Sum ingin melaksanakan niatnya untuk secepatnya mengorbankan Ratri pada baurekso Wewe Gombel.

"Pelan-pelan, Mbok. Aku capek dan perutku terasa berat sekali," kata Ratri dengan napas terengah-engah.

Susah payah Ratri menempuh perjalanan itu. Dia merasakan perut besarnya semakin berat seolah tidak mau diajak untuk berjalan lagi. Akhirnya mereka tiba di pintu pagar besi kebun kosong milik keluarga Ndoro Sastro. Tetapi setiap kali Ratri mencoba maju selangkah, bayi dalam perutnya selalu bergerak. Bayi itu seperti mendorong tubuh Ratri ke belakang untuk menahan langkah kaki Ratri agar tidak masuk ke dalam kebun kosong itu.

"Ayo, Nduk. Sudah hampir sampai. Pohon asem tua itu sudah kelihatan," kata Mbok Sum sambil memegang tangan Ratri mencoba untuk memapahnya. Tapi tubuh Ratri terasa begitu berat. Dan bayi dalam kandungan Ratri memberikan reaksi yang semakin kuat juga.

Ada apa, Nak. Kamu tidak mau ke sana? Tapi ini untuk keselamatanmu juga, kata Ratri dalam hati. Ratri masih mencoba memaksakan langkahnya untuk mendekati pintu pagar besi itu.

Tiba-tiba terdengar suara lirih menggema di rongga kepala Ratri. "Ibu ... Ibu jangan pergi ke sana!"

Anak kecil itu datang lagi. Lelembut itu mau menggangguku lagi. Aku harus segera melakukan ritual sesajen untuk baurekso, kata Ratri dalam hati. Dia melihat ke sekeliling mencari arah suara tersebut. Tetapi hanya kegelapan malam di antara pepohonan kebun kosong yang terlihat oleh Ratri.

Dia merasa ketakutan yang teramat sangat. Merinding dan keringat dingin keluar di sekujur tubuhnya. Akhirnya dengan langkah berat dan dipapah oleh Mbok Sum, Ratri melanjutkan perjalanannya. Setapak demi setapak Ratri masuk melewati pintu pagar besi menuju pohon asem tua. Hingga matanya melihat sebuah cahaya api di depan sebuah pohon yang cukup besar. Itulah pohon asem tua keramat tempat bersemayamnya baurekso Wewe Gombel.

Mbok Sum segera berdiri di depan tempat sesajen. Dia menangkupkan kedua tangannya di atas kepala sambil merapalkan mantra-mantra. Malam itu, dengan disinari cahaya lilin di tempat sesajen, lelembut Wewe Gombel menampakkan dirinya dalam wujud sosok manusia tidak sempurna.

Sosok itu adalah Nenek Bongkok yang sudah sangat tua sekali dengan kulit wajah begitu berkeriput dan tubuh membungkuk. Mata bulat menonjol keluar berwarna merah. Rambut putih panjang tampak digelung ke atas. Beberapa pasang payudara memanjang menjulur keluar dari dada dan perut hingga hampir menyentuh tanah.

"Kemarilah Ratri, datang padaku. Datanglah padaku! Serahkan jiwa dan ragamu!" kata Nenek Bongkok itu sambil tertawa terkekeh-kekeh memperlihatkan sepasang taring kecilnya. Dia menjulurkan kedua tangannya ke depan. Bagaikan magnet kedua tangan Nenek Bongkok itu menarik tubuh Ratri.

"Ibu, bertahanlah. Jangan pergi ke sana!" Kembali suara anak kecil menggema di rongga kepala Ratri diikuti gerakan menegang di perutnya.

Siapa kamu sebenarnya? tanya Ratri dalam hati sambil memegang perutnya.

Lihat selengkapnya