"Kamu tidak mungkin bisa mengalahkanku!" kata Wewe Gombel sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Dengan hancurnya ular cahaya, tubuh Ratri terdorong beberapa langkah ke belakang. Beruntung saat itu Wibi sudah sampai di tempat kejadian. Wibi dapat menahan dan memegang tubuh Ratri sehingga tidak jatuh ke tanah.
"Ratri ... Mengapa bisa terjadi seperti ini?" tanya Wibi keheranan.
"Aku ... Aku ingin memberi sesajen pada baurekso, Mas. Agar lelembut tidak menggangguku terus," jawab Ratri.
"Apa ...? Kendalikan dirimu, Rat! Mohon pertolongan pada Gusti Alloh!" Wibi benar-benar terkejut mendengar jawaban Ratri.
"Maafkan aku, Mas. Aku ... aku tidak bisa melawan sugesti dari Simbok. Ternyata baurekso itu lelembut Wewe Gombel penunggu pohon asem tua. Dan dia ... dia ingin meminta tumbal nyawaku!" jawab Ratri lirih.
"Hmm ... lebih baik kita segera meninggalkan tempat ini. Aku tidak ingin kamu menjadi korban sesajennya Simbok," kata Wibi sambil memapah Ratri.
"Benar, Mas. Baurekso itu ternyata ingin membunuhku!"
"Sepertinya dugaanku benar, Rat. Simbok ingin mengorbankan kamu melalui sesajen untuk baurekso itu."
"Iya, Mas. Tapi untunglah anak dalam kandunganku ini dapat menolongku." Ratri mengelus perut besarnya.
"Menolongmu? Bagaimana mungkin, Rat?"
"Dia berkomunikasi denganku, Mas. Terus menyuruh ular tunggon yang dulu masuk ke perutku untuk keluar menghadapi Nenek Bongkok. Tapi ular itu dapat dikalahkan oleh Nenek Bongkok."
Benarkah anakku dapat berkomunikasi dengan lelembut? Seingatku, menurut buku Primbon memang begitu. Bayi sungsang mempunyai kemampuan untuk itu, kata Wibi dalam hati.
"Aduh ... perutku sakit sekali, Mas. Sepertinya ketubanku mau pecah," teriak Ratri sambil memegangi perutnya.
"Kalau begitu kita segera ke rumah sakit, Rat."
"Bagaimana dengan Simbok, Mas?"
"Biarkan saja. Biarkan Simbok menyelesaikan urusannya sendiri dengan Nenek Bongkok." Mereka berdua segera meninggalkan pohon asem tua.