Perjanjian Ketiga

bomo wicaksono
Chapter #23

Ndoro Alit

Seorang perawat mendorong Ratri yang terbaring lemah di kereta dorong keluar dari ruang operasi menuju bangsal di lantai tiga. Mereka masuk ke ruang Dahlia nomor satu. Wibi mengikutinya sambil membawa barang-barang dan pakaian ganti untuk Ratri.

Di dalam sudah ada dua orang perawat perempuan sedang membersihkan dan menyiapkan tempat tidur untuk Ratri. Wibi kemudian meletakkan barang-barang di meja sedangkan pakaian Ratri dimasukkannya ke dalam loker di bawahnya. Para perawat itu kemudian mengangkat tubuh Ratri dari kereta dorong ke tempat tidurnya.

"Dipakai istirahat ya, Bu. Jangan banyak bergerak dulu," kata perawatnya.

Ratri tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya. Setelah para perawat selesai dengan tugasnya dan keluar ruangan, Wibi mendekati Ratri. Dia mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur Ratri. Wibi mengusap lembut kepala Ratri sambil tersenyum. Kemudian menggenggam dan mencium tangannya.

"Terima kasih ... kamu telah memberiku seorang anak lagi. Dia perempuan, Rat. Seperti tebakanku dulu. Cantik juga seperti kamu!" 

"Ah, kamu bisa saja, Mas," jawab Ratri sambil tersenyum. Wibi memberikan sedikit kata-kata pujian pada istrinya untuk mengurangi rasa sakit pada luka bekas operasinya.

Tapi dia kembali teringat peristiwa yang baru saja dialami dengan bayinya. Wibi tampak sedikit gelisah dan bermaksud menceritakan pada Ratri. Tapi diurungkan niatnya itu karena tidak ingin hal itu menjadi beban pikiran Ratri. 

"Ada apa, Mas? Kelihatannya gelisah. Apa ada masalah lagi dengan bayi kita?" Rupanya Ratri tahu juga kegelisahan yang sedang dirasakan Wibi.

"Eee ... tidak, Rat. Tidak apa-apa! Aku jemput Ayu besok saja, ya? Ini sudah terlalu malam." Wibi mencoba mencari alasan agar tidak mengecewakan istrinya. Ratri pun tersenyum dan mengangguk mengiyakan. 

Malam semakin larut suasana hening menyelimuti Ruang Dahlia di lantai tiga itu. Wibi menggelar sleeping bed di samping bawah tempat tidur Ratri. Desir lembut suara mesin pendingin ruangan di atas tempat tidur Ratri pun seperti meninabobokan Wibi. Tapi dia belum benar-benar tertidur ketika mendengar bunyi langkah-langkah kaki bersepatu di luar ruangan. Bunyi langkah itu semakin mendekati ruangan tempat dia dan Ratri berada. Tetapi tiba-tiba saja menghilang seperti berhenti di suatu tempat.

Saat itu kelopak mata Wibi sudah berat dan hampir tidak bisa ditahan lagi untuk terjaga. Tiba-tiba terdengar bunyi gagang pintu ruangan Dahlia digerakkan. Bunyi berderit pintu terbuka memecah keheningan malam. Sebentar kemudian terdengar lagi langkah-langkah kaki bersepatu mendekati tempat tidur Ratri.

Peristiwa itu menghilangkan sebagian rasa kantuk Wibi. Rasa penasaran membuat Wibi melihat dari bawah korden penyekat. Sepasang kaki putih bersih bersepatu hitam high heels terlihat oleh Wibi di balik korden penyekat tempat dia berbaring di lantai. Mungkin dia perawat jaga yang sedang bertugas mengontrol setiap pasien. Tapi dia melewatkan beberapa tempat tidur di sebelah depan dan langsung menuju tempat tidur Ratri. Sejenak perawat itu diam di sana dan Wibi pun menunggu reaksi selanjutnya. Wibi melihat korden dibuka dan tampak seorang perawat perempuan berdiri di depannya.

"Aku mau itu ...." Terdengar suara dengan nada berat. Perawat itu menunjuk sebuah benda yang terletak di bawah dekat meja. Wibi bangun dari tidurnya dan memperhatikan benda yang ditunjuk oleh perawat itu.

Itu kendil ari-ari anakku! Untuk apa dia menginginkan itu? tanya Wibi dalam hati.

"Aku mau itu!" Suara berat itu terdengar lagi. Wibi memperhatikan perawat perempuan itu dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Wajahnya terlihat samar-samar padahal cahaya lampu di ruangan itu cukup terang.

"Itu ari-ari anakku. Untuk apa kamu minta?" tanya Wibi.

"Aku mau itu! Untuk aku jadikan temanku," jawab perawat itu dengan wajah lurus ke depan dan tanpa ekspresi.

"Teman ...? Ada yang tidak wajar dengan permintaanmu itu. Siapa kamu sebenarnya?" tanya Wibi lagi. Tapi perawat itu tidak menjawab.

Tiba-tiba saja perawat itu bergerak melayang melewati Wibi dan berdiri di samping meja. Dia menoleh sejenak ke arah Wibi kemudian membungkuk untuk mengambil kendil berisi ari-ari. Wibi terkejut dibuatnya. Kini terlihat muka rata dan pucat perawat itu. Darah Wibi pun bagai berhenti mengalir saat menatapnya.

"Tidak ...! Jangan kau bawa ari-ari anakku!" Wibi berteriak dan berusaha untuk merebut kembali kendil itu. Tetapi tubuhnya tidak bisa digerakkan dan teriakannya seperti tidak terdengar walaupun oleh dirinya sendiri. Perlahan-lahan perawat itu bergerak melayang pergi melewati Wibi kembali tanpa menoleh sedikit pun sambil membawa kendil berisi ari-ari dalam dekapannya.

Lihat selengkapnya