"Kesepian adalah jurang tak berdasar yang bisa mengubah manusia menjadi makhluk yang bahkan ia sendiri tak lagi kenali."
Pedalaman Sulawesi, 1940
Malam itu, langit Sulawesi gelap pekat, tanpa bintang. Hanya suara jangkrik dan gemerisik dedaunan yang menemani Mbah Karto. Ia duduk di depan gubuk kecil tempat ia tinggal sementara. Secangkir kopi hitam yang sudah dingin terabaikan di tangannya. Pikirannya melayang ke Mayang dan Bagas, yang entah bagaimana keadaannya di Jawa.
Sudah tiga bulan ia bertugas di pedalaman Sulawesi, dan setiap hari terasa seperti perjuangan baru. Bukan hanya menghadapi ancaman dari kelompok perampok, tapi juga dari kesunyian yang semakin lama semakin menghantam jiwanya.
"Masih terjaga?" suara berat Pak Sabang, kepala desa, mengejutkannya.
Mbah Karto mengangguk. "Sulit tidur, Pak. Entah kenapa."
Pak Sabang duduk di sampingnya, membawa kendi berisi air aren. Ia menyerahkannya kepada Karto, yang menerimanya dengan anggukan.
"Ada yang mengusik pikiranmu?" tanya Pak Sabang sambil menyalakan lintingan tembakau.
"Semua ini, Pak. Hutan ini. Desa ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi kami," jawab Karto sambil menatap hutan yang gelap gulita di kejauhan.
Pak Sabang terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Hutan ini memang bukan hutan biasa, Nak. Ada penghuni di sana, lebih tua dari apa pun yang kau kenal. Dan dia... tidak suka diganggu."
Karto mengernyit. "Penghuni?"
Pak Sabang tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap hutan dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau akan tahu, pada waktunya."
Keesokan harinya, Karto mendapat tugas untuk memimpin patroli di sekitar perbatasan desa. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh ke dalam hutan, mencoba mencari jawaban atas laporan-laporan aneh yang terus berdatangan dari warga.