Pagi itu matahari masih bersembunyi dalam pekat kabut, embun terlihat menggantung di ujung daun dan setelahnya jatuh tertimpa rintik yang baru turun. Di jalanan sunyi bernuansa pepohonan sebuah mobil melaju cukup kencang, di dalamnya terdapat sebuah keluarga yang tenggelam dalam keheningan.
Naya anak tertua di keluarga itu terlihat masih mengantuk-ngantuk, badannya menyender dengan tangan yang sesekali mengucek mata. Ia masih merasa lelah sebab semalam habis perpisahan dengan teman SMA-nya di sebuah kafe, ia pulang cukup malam dan subuhnya sudah dibangunkan Ibu disuruh bersiap sebab mereka akan menuju ke suatu tempat. 'Tring' sebuah notif muncul dari smartphone-nya.
'Guys nanti siang ketemu yuk, kita siapin berkas buat daftar ke kampus'
'Yahhh, aku gak bisa soalnya lagi keluar nih sekeluarga'
'Ke mana? Sampe jam berapa Nay?'
Naya mengalihkan pandangannya pada perempuan paruh baya di kursi depan, "Bu kita mau ke mana?"
"Nanti juga kamu tau."
"Sampe jam berapa? Riri ngajak Naya buat ngurusin persiapan dokumen pendaftaran kuliah."
"Ibu gak bisa pastiin, liat aja nanti."
Naya cukup kecewa, ia lalu membalas chat temannya di grup setelah itu menyimpan handphone miliknya. Ia membuka kaca jendela dan menikmati terpaan angin bergerimis.
*****
Mobil putih milik keluarga Naya berakhir terparkir di sebuah pesantren terdapat plang besar yang terpajang bertuliskan 'Pesantren Al-Kahfi'. Ayah mengeluarkan beberapa barang dari bagasi, sedangkan Ibu justru terlihat menerima telepon sembari menjauh. Naya memperhatikan dengan penuh kebingungan.
"Kenapa Ayah membawa koper? Apa ada yang mau dipesantrenkan?" Naya kemudian melirik adik laki-lakinya.
"Apa Fikri mau dimasukan ke pesantren? Bagus sih dia emang udah seharusnya dipesantrenkan, kebanyakan main game udah gitu ngelawan mulu sama kakaknya."
Tanpa memalingkan wajah dari layar handphone bocah yang baru lulus SMP itu menjawab dengan enteng, "Maaf ya kak gak sesuai harapanmu, Ibu udah siapin berkas buat daftar ke SMA negeri, tinggal dikasih aja nanti Senin depan."
"Hhhh terusss kalo bukan kamu siapa yang mau dimasukan ke pesantren?"
"Ya kakaklah, kasian gak jadi kuliah."
Naya terkejut, ia lalu mendekati ayahnya, "Ayah Fikri bilang Naya mau dipesantrenkan? Bohong kan?"
Ayah tidak menjawab dan hanya menatap anak sulungnya itu. Tak lama Ibu datang dan menyuruh semuanya untuk segera masuk, ia juga menyerahkan sebuah kerudung instan agar dikenakan oleh anak perempuannya itu.
Naya menolak, "Ibu jawab dulu kenapa kita pergi ke sini dan kenapa ayah bawa koper dan barang-barang lainnya, terus kenapa Fikri bilang Naya mau dipesantrenkan, dia cuma becanda kan?"
"Masuk dulu Naya, Ustazah Halimah udah nunggu di dalem."
"Gak mau, Ibu harus jawab dulu!"
"Iya!"
Naya terkejut, "Tapi kenapa? Ibu kan udah janji mau kuliahin Naya, sebagian berkas udah Naya kumpulin. Ibu kenapa tega sama Naya kalau karena semalem Naya pulang telat Naya minta maaf, mending Ibu dan Ayah hukum Naya tapi jangan dipesantrenkan." Naya mulai berkaca-kaca.
Ibu tak menjawab ia justru menarik tangan anak gadisnya itu yang segera dihempaskan.
"Ayok." Ibu masih berusaha menarik tangan Naya.
"Gak mau Ibu."
"Masuk Naya!!!"
Semua orang terkejut karena baru kali ini Ibu membentak, Naya tak dapat lagi membendung tangisnya terlebih ia berpikir kesalahan apa yang telah ia perbuat sampai Ibu semarah itu.
Ayah yang menyaksikan segera mendekati Ibu dan menenangkannya, ia meminta Ibu masuk lebih dulu bersama Fikri. Ibu setuju, ia menyerahkan jilbab yang dipegangnya kepada Ayah dan menatap si bungsu, tanpa disuruh Fikri segera mematikan handphone-nya dan menyerahkan tangannya untuk digandeng sang Ibu.
Ayah lalu memeluk Naya yang menangis.
"Ayah minta maaf karena Ibu dan Ayah gak kasih tahu Naya dulu soal ini. Tapi niat kami cuma pengen kamu bisa jadi anak yang baik."