Aron Mayapada, seorang pemuda yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan mahluk halus sedari kecil. Beranjak remaja keistimewaannya semakin berkembang, ia bukan lagi dapat melihat mahluk ghaib tetapi juga menyentuh bahkan melakukan perjalanan ke alam lain. Mendekati kelulusan SMA ia bahkan semakin sulit membedakan nyata dan halus, manusia dan mahluk ghaib. Sampai akhirnya orang tua Aron memutuskan memasukannya ke pesantren untuk memperdalam ilmu agama sekaligus diruqyah agar mata batinnya bisa tertutup dan kemampuannya hilang.
Di pesantren ia justru satu kamar dengan dua pemuda bandel. Malam pertama ia diintimidasi, batinnya ia mungkin akan jadi korban perundungan. Namun cerdasnya Aron justru menceritakan alasannya ke pesantren ia berniat mendapatkan simpati dari dua remaja itu, tetapi justru sebaliknya Ronal dan Dion menjadi baik kepadanya karena takut dengan hal ghaib. Sejak itulah mereka menjadi tiga sekawan yang sering membuat kekacauan di pesantren.
*****
Di Minggu pagi itu sepulang pengajian subuh mereka terlelap, hingga tiba-tiba pintu kamar mereka digedor. Aron yang terbangun lebih dulu langsung membuka pintu, seketika 3 orang santri senior yang merupakan bagian keamanan langsung masuk.
"Bangunin mereka!" Salah satu santri yang memegang penggaris panjang memberi arahan. Dua santri lainnya langsung mendekati Ronal dan Dion, mereka mencelupkan tangannya ke dalam gayung yang memang sedari awal dibekal, lalu diusapkan ke wajah Ronal dan Dion.
"Hujan, bocor."
"Banjir dodol." Ronal menggeplak pipi temannya yang kebetulan tidur di sebelahnya.
"Akhirnya bangun juga dari hibernasi. Kalian tau kan sekarang jadwal apa? Ayok, ayok bangun kita harus menginclongkan pesantren!!!"
Mau tak mau ketiganya pergi untuk ikut kerja bakti. Dengan ogah-ogahan mereka mulai bekerja membersihkan selokan dengan alat masing-masing.
"Gila, gue lagi mimpi naik kapal laut tiba-tiba tenggelem, ternyata muka gue dielap air." Dion memulai percakapan.
"Lah, kalo lo mimpi tenggelam kenapa ngeracaunya hujan sama bocor."
Menanggapi pertanyaan Ronal, Dion berfikir sejenak, "Gue juga gak tau, hihi."
"Gak jelas lo."
"Untung gue bangun duluan, jadi selamet gue." Aron nimbrung dengan tangan masih memacul rumput di selokan.
"Halah, emang gak setia kawan lu." Dion mendelik kesal.
"Tau ah, gue males banget ngerjain kayak ginian, capek. Mending ngopi gak sih." Ronal menatap dua temannya penuh arti, tanpa berkata apa-apa lagi ketiganya langsung saling mendekat untuk merencanakan sesuatu.
"Kalo menurut gue sih kita pura-pura sakit." Dion mulai berbisik.
"Halah udah gak mempan yang ada kita dijejalin batrawali, lu Ron?"
"Gimana kalo kita pura-pura kesurupan."
"Yehh, yang ada dilelepin kita. Lu berdua emang gk ada yang bener." Ronal mencak-mencak.
"Emang rencana lu apa Nal?"
"Ehem, simpel aja sih. Kita mencar, pura-pura bersihin rumput, terus kita melipir kalo orang-orang lagi gak merhatiin. Nah, nanti kita kumpul di warung Mang UU"
"Tapi Nal, gue takut ketangkep, ntar dihukum lagi." Aron mulai ragu.
"Tenang, kalopun kita apes paling dihukum berdiri sambil bawa tulisan."
"Iya Ron, kang Firman lagi gak di pesantren hari ini. Amanlah." Dion meyakinkan.
"Okelah."
Perlahan mereka mulai saling menjauh, apesnya Dion justru mendekat ke bagian keamanan yang membawa penggaris panjang.
"Apa nih kok jadi merapat ke sini."
"Hehe, enggak Kang yang ini rumputnya banyak." Dalam hati Dion merutuk bisa-bisanya dia yang apes duluan, kalau sudah begini alamat gak bakal bisa kabur.
Santri senior itu menatap Dion curiga. "Mana nih Aron sama Ronal?"
"Ada kok mereka bantuin santri lain buat bersihin rumput."
Tatapan penuh curiga mulai dilemparkan ke Dion, "Mau kabur ya!"
"Enggak Kang, ini kan lagi bantuin bersihin."
Santri senior itu memanggil temannya dan berbisik, si teman lalu pergi ke arah yang ditunjuk, tepatnya ke arah Ronal dan Aron yang sudah berada di ujung area kerja bakti.
Melihat dua santri keamanan mendekat dengan refleks Ronal berlari ke arah pesawahan, Aron pun ikut berlari ke arah yang berbeda karena terkejut. Aron yang kebingungan karena menemukan jalan buntu tanpa pikir panjang langsung memanjat ke sebuah tembok dan 'buk' ia terjatuh di area pekuburan. Pemuda itu segera mengecek betisnya yang turun duluan dan menimpa bebatuan, ia lalu mendongak memastikan apakah para seniornya mengejar sampai ke sana, ia juga mulai menjelajahi tempat itu sampai ia tiba di sebuah pohon yang di bawahnya seseorang atau mungkin sesuatu berambut panjang dengan celurit yang digenggamnya, Aron berteriak tetapi ia langsung menutup mulutnya terlebih ketika ia mendengar langkah kaki di balik tembok. Dalam ketakutan itu ia memejamkan matanya sembari membaca ayat kursi, ia membatin kalau yang dilihatnya itu adalah mahluk ghaib maka seharusnya setelah ia membaca do'a sembari memejamkan mata mahluk itu hilang.
Beberapa saat ia tak lagi mendengar para santri yang mengejarnya, perlahan ia membuka mata dan sesuatu itu masih ada tak berubah sedikitpun. Ia mulai membatin lagi, apa mungkin itu manusia atau justru santriwati di sini, tapi masa iya pergi ke kuburan sendiri buka jilbab lagi. Atau mungkin itu orang gila? Tapi anggapan itu justru lebih menggelitik karena kalau iya pasti sudah rame.
Penuh penasaran Aron memberanikan diri untuk menjambak sebagian rambut yang menjuntai. Akhirnya si pemilik terbangun dan terkejut saat melihat Aron yang juga kaget, perlahan tangan yang menggenggam celurit semakin meninggi. Aron mulai panik pikirnya itu memang orang gila dan sekarang nyawanya dalam bahaya.