Erick hanya tersenyum simpul. Namun, senyum itu tidak ia lontarkan pada siapapun. Gigi putih bersih yang ditampilkan menjadi saksi atas tersenyumnya seseorang yang membangkrutkan pabrik gula ini.
Beberapa wanita mulai mendekati, dan meminta tanda tangan kepadanya. Tentu itu dibalas dengan senang hati oleh Erick.
***
"Huh? Yang lain dapat tanda tangan?" aku menyipitkan mataku saat melihat seorang laki-laki tampan sedang menanda tangani kertas yang dibawakan banyak wanita olehnya.
Semakin banyak orang yang mengerumuni dirinya, semakin aku tidak bisa melihat siapakah dia. Dia tinggi, seharusnya jika aku berjinjit aku bisa melihat wajahnya.
"Erick! Kau sangat hebat!" itu adalah kata yang aku dengar barusan. Aku membelah kerumunan massa yang mengemis harga diri pada seseorang.
Saat ku mengangkat wajah, ku melihat pria dengan rambut bergelombang kedepan, Alis tebal, rahang kokoh, mata berwarna biru akua yang agak sipit, pipi berwarna kuning langsat, serta bibir berwarna merah tua.
Hanya satu kata yang terlintas dipikiran ku,
Tampan. Dan aku mengenalinya.
Aku menatapnya terlalu lama, dia juga menatapku. Pandangan seakan terkunci diantara kita berdua. Erick Taranta, ia adalah orang yang kulihat. Pemuda yang baru saja memenangkan lomba balapan motor di ronde pertama. Bibirku bergerak, tapi tidak mengeluarkan suara. Ah, apa ini yang dinamakan deg-degan.
"Hei?" Hah?! Serius?! Ia memanggilku! Seseorang yang ku idolakan selama ini, ada didepanku dan sedang berbicara denganku. Mataku nyaris membulat, dengan mulut yang ku tutup menggunakan tangan agar tidak keluar jeritan ala fangirl ku.
"Kau baik-baik saja?" empat kata itu benar-benar membangkitkan ingatanku. Tentang, dimana aku berada, siapa aku, siapa orang tuaku, berapa hutang yang belum temanku bayar, dan lain-lain.
"Ah ..., iya, tuan Erick." balasku canggung. Seolah, aku tidak mau menatap matanya yang berkilauan sekaligus Indah itu.