Malam yang dingin, bukan?
Tidak? Manusia macam apa kau ini?!
Jelas-jelas seorang wanita dengan kisaran umur 19 tahun sedang merapatkan merapatkan jaketnya dibalkon hotel.
Rambut berwarna hitam dengan ujung cokelat itu berterbangan. Beberapa helai menutupi wajah cantiknya.
Mantel cokelat itu tidak lagi menghangatkan tubuh. Malam di Selangor tidak seperti malam yang sebelumnya. Kali ini lebih dingin, lebih menakutkan, lebih kejam dan lebih dalam.
Deru mobil lembut mampir, membuat telinganya terenyuh. Kemudian, suara itu pergi. Meninggalkan sejuta kenangan yang masih misteri.
Mirip siapa? Mirip mantan tunangannya sekarang. Alexander William Snowslake, cowok brengsek itu meninggalkan dirinya disaat ia sedang tidak tenang. Ya, tidak tenang.
Karena, sore tadi ia melihat Erick Taranta sedang duduk dan termenung di halte bus. Sekujur tubuhnya kaku. Kemudian, saat ia baru sadar, Erick sudah tidak ada disana.
Jadi, sebenarnya dia galau karena diputusin Alex atau gagal bertemu Erick?
Dua-duanya. Ia kesal dengan Alex karena memutuskan hubungannya. Kedua, ia gagal bertemu Erick — idolanya dalam dunia balap.
Lupakan, ia sedang tidak mau membahas cowok brengsek itu. Ia hanya ingin bersantai di kamar hotelnya.
"Nona? Anda tidak mau memakan Brownies?" Cici datang dari belakang Olive sembari memakan satu potong brownies yang cokelatnya masih meleleh.
"Tidak. Saya masih makan cheese cake." Tolak Olive dengan halus. Wajahnya tak kentara antara tegang dan sedih.
"Apa yang Anda khawatirkan?" Cici menaruh piring berisikan brownies cokelat itu secara berdampingan dengan cheese cake yang baru saja Olive makan beberapa menit yang lalu. "Tidak ada." Rasanya lemas saat mengatakan jika Cici membawa brownies.
"Sayang, aku bawa brownies nih!"
"Huaaa makasih yaa!"
"Iyaa. Apapun untuk kamu, yang penting kamu bahagia."
Sekarang perkataan itu hanyalah omong kosong belaka. Dimana Alex yang dulu?
"Nona, jika Anda berkenan, Saya mau membantu Anda." Cici meletakkan tangannya dipundak Olive. Bukannya mengatakan lebay, justru ia menenangkan Olive agar tidak berteriak dan gila. Ia tahu, Olive memimpikan cinta yang berlatar belakang romantis dan berakhir dipelaminan. Tetapi, ia malah berakhir tragis tanpa jejak.
"Ayo jalan-jalan!" Merasa ada sedikit air yang tertumpah ia mengusap kasar wajahnya. Menunjukkan betapa tegarnya ia melewati ini semua, dengan cara mengajak Cici jalan-jalan. Cici menatap tidak yakin. "Beneran?"