Ada sesuatu yang mengganjal dihati Olive. Kepalan ditangannya kian mengeras seiring berjalannya waktu. Namun, ia tetap memilih untuk diam daripada melampiaskan kemarahannya pada rahang Alex.
Sementara, Alex sendiri mencium kening Zumi sembari duduk disebelahnya dan mengacak-acak rambut 'Pacar' barunya.
Sesuatu yang mengganjal itu seakan melubangi hati Olive. Jantungnya berdegup kencang, otaknya mulai memikirkan rencana keji yang tak akan ia laksanakan.
Yang penting udah tau siapa cewek barunya, Batin Olive. Walaupun ia tidak dapat merelakan Alex. Untung dia sadar diri, bagaimana kalau di umum begini Olive hilang kendali dan berujung memukulinya?
Ia menunduk, meremas celananya. Tak sadar, ada sesuatu yang jatuh.
Butiran kristal. Jarang sekali ia menangis seperti ini.
Pembohongan tak masuk akal yang membuat ia tidak jadi bertunangan porosnya ada pada Alex. Zumi — adalah korban atau memang Zumi adalah selingkuhan Alex?
Ia tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang.
"Hei ..., aku ke toilet dulu ya." Olive bangkit dari kursi sambil mengambil tasnya dimeja. Zumi hanyalah mengangguk penuh energik.
Ia berjalan ke kamar mandi. Saat sudah didalam sana ia melempar tasnya kasar.
Olive menginjak-injak benda itu dengan emosi. Marah dan kesal. Kemudian berteriak keras pada cermin sambil memukul-mukul kepalanya.
"SEMUA ORANG ITU JAHAT!"
Ia tersungkur, menangis. Dunia sangat kejam dan tidak adil padanya. Menurutnya semua orang itu jahat — termasuk keluarganya.
Semua mengkhianatinya. Sebaik apapun orang itu ia akan menjadi jahat. Ia membenci orang-orang yang terlalu baik padanya. Karena kelak orang yang dekat dengannya akan lebih memiliki akses masuk untuk menghancurkan Olive.
Ia tidak aman. Dunia ini dipenuhi orang jahat. Tidak ada yang adil.
Kelam,
Rasanya berat.
Olive memegangi kepalanya yang terasa sakit. Sedetik kemudian ia menarik dan meremas kasar rambutnya, diikuti dengan pukulan pukulan diatas kepalanya. Ia melakukan itu agar cepat ..., rencananya sih agar cepat mati. Tapi ia masih tidak siap. Jadi, pingsan saja lah.
Olive duduk, tapi ia yakin dirinya bersender pada tembok sembari menekuk lututnya. Kepala ia tenggelamkan diantara lututnya. Ia menangis tersedu-sedu.
Hening. Kepalanya terasa berat. Pandangannya mengabur.
Ia kehabisan tenaga untuk melakukan hal itu kembali. Rasanya masih sakit ketika Olive sendiri meluruskan kakinya untuk segera berdiri dan pergi dari sana.
"A-ah!" dirinya meringis ketika mata kakinya bergesekan dengan sepatu hak tinggi miliknya.
Beberapa detik kemudian, terpikir olehnya untuk menghubungi temannya. Ia menggulir kontak dan menemukan siapa saja yang online.