Dipagi hari yang terlalu pagi ini membuat seorang pria terbangun. Ia mengambil air minum diatas nakas sebelum memulai hari.
Sesuatu yang jarang, Daniel masih tertidur pulas diseberang kasurnya. Tidak perlu lama-lama, ia pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Saat ia sudah mandi, Daniel tak kunjung bangun. Tidak ada niatan juga membangunkannya. Toh, Daniel sudah mengurus ini itu untuk premier filmnya yang pertama.
Beberapa hari yang lalu, production house menawarkan permainan film romantika kepada Erick dan diterima. Tidak terlalu buruk.
Ia lapar. Erick ingat motornya berada disebuah penitipan. Jujur, ia tahu ini bukan generasi zaman dahulu. Tetapi cukup melelahkan jika harus berjalan kaki.
Hanya sepuluh menit dari hotel ia sudah berada di tempat penitipan motornya. Ia membayar biaya sewa, petugas memberikan kunci dan ia pergi membawa motor.
Pukul enam pagi. Udara masih sangat segar dan nyaman. Tak tanggung-tanggung ia keluar jam segini.
Tetapi, kenapa kendaraannya bergoyang-goyang?
Ia menepikan motornya. Kemudian membungkuk mencoba mengecek apa yang sudah terjadi.
"Kok bisa kempes sih. Apa jangan-jangan karena kelamaan ya."
Terpaksa ia menenteng motornya. Karena dua perkara. Keselamatan dan malas menaiki motor untuk detik ini.
Erick sampai disebuah bengkel. Ia melihat-lihat, ada sebuah mobil lansiran inggris — Rolls Royce. Satu kata, pemiliknya pasti milyuner termasyhur dan dihormati. Buktinya ia mendatangi bengkel kecil ini.
"Incik, saye pun nak perbaiki kereta."
Hanya dengan satu kalimat itu mampu membuat semua pasang mata menengoknya. Ada dua orang gadis yang mungkin seumuran dan seorang pria tua sedang membetulkan ban mereka.
Orang ini.
Olive — Anak dari orang terkaya yang ia ketahui ada didepannya — memandang Erick. Wajahnya datar, tapi ia dapat melihat binar kerlap-kerlip dimatanya. Seperti ..., Terpesona? Entahlah.
"Boleh dik."
Kini montir yang sebelumnya membetulkan mobil gadis itu berpindah pada Erick, mengisi angin pada ban Erick yang kempes.
Montir itu mengisi bannya. Sembari menunggu, ia membalas tatapan dari Olive.
Pandangan mereka terkunci sampai Olive memekik.
"Apa liat-liat?"
Dih, jutek.
"Gak."
"Oh."
Hanya itu?
Ingin rasanya ia lompat ke dalam gunung merapi.
Erick tertawa dalam hati ketika mengingat bahwa gadis ini menyukai dirinya didalam lintasan balap, ketika dirinya melaju dengan kecepatan tinggi diatas aspal. Ketika dirinya menggunakan helm full face.
Kini dua gadis itu lenyap dari hadapannya. Mereka pergi menggunakan mobil mewah yang tak dipungkiri berasal dari Inggris.
Ia hanya menghela nafas.
***
Olive akhirnya pulang ke hotel — Tentu diantar oleh Sesha walau ia yakin bisa naik taksi sendirian.
Ia merebahkan diri diatas sofa. Kemudian menyalakan ponsel, terlihat daya baterai yang mulai menipis.