Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya... menyebalkan...
“Kalau tidak salah yang ini rumahnya.” Sahut Ibuku meyakinkan Ayah yang sedang menyupir.
Ya inilah kami bertiga sedang mencari rumah bos Ayah, yang terletak di Kota Bandung, saya saja yang kuliah 4 tahun tidak pernah ke daerah sini –maklumlah saya ini tipe mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang ) dan kura-kura (kuliah rapat), bukan tipe kunang-kunang (kuliah nangkring)- karena uang jajan dari Ibu terbatas, kalau kurang yaa tidak boleh minta lagi, pokoknya sebulan ya segitu.
Harusnya hari ini menjadi hari kebahagian saya, karena kemarin saya baru saja wisuda sarjana, dan Ayah menjanjikan setelah acara wisuda akan makan-makan enak di restoran. Betapa senangnya Ayah dan Ibu melihat anak satu-satunya lulus dengan predikat cumlaude dengan IPK 3,61 di salah satu PTN di Bandung. Iya, karena saya anak satu-satunya maka saya selalu menuruti apa kata Ibu, mulai dari sekolah SMP, SMA, hingga PTN semua pilihan Ibu, dan untungnya otak saya ini yaa lumayan sanggup menerima pelajaran IPA di SMA. Namun, saat kuliah saya mangkir berdalih bahwa saya bosan dengan pelajaran matematika, rumit dengan kimia, hingga tak suka dengan fisika, karena saya tidak punya dasar kemampuan IPS, maka tercetuslah dalam pikiran saya kala itu, saya pilih jurusan bahasa. Alasannya simple saya suka baca novel, titik. Akhirnya semua perjuangan terbayar ketika acara wisuda kemarin.
“Teh, ayo turun sudah sampai,” Ibu membuyarkan lamunanku tentang mengenang masa-masa kemarin.
“Oh, sudah sampai, Bu?” tanyaku.
“Iya hayu.” ajak Ibu.
Saat kaki turun melangkah di belakang Ibu, mataku terpesona dengan rumah megah di depan ini, berwarna putih bersih sesuai dengan warna pagarnya. kusen pintu, jendela, serta garasi dari ornamen kayu yang berukir, dikelilingi rumput yang tertata rapi serta pohon-pohon rindang yang selalu dirawat terlihat sekali rumah ini dirawat dengan baik.
Di dekat pagar pintu ada kandang burung besar, kupikir ada banyak penghuninya, namun ketika ku tengok, hah... hanya ada satu ekor burung, huft,, semahal itukah burung ini?
Namun ketika ku sedang mengamati keindahan taman bunga sekeliling rumah ini. Terdengar suara dari dalam rumah.
“Ya ampun, Ibu Mala kenapa tidak bilang kalau mau datang?” kata tante itu sambil cipika-cipiki dengan Ibu.
“Ah, tidak sengaja lewat Bu Sugeng, ini kemarin habis acara wisuda teteh.” sahut Ibu.
Saya yang daritadi bagaikan bayangan akhirnya disebut juga. Padahal sudah senang tidak dianggap jadi saya bisa kabur ke dalam mobil Ayah.
“Wualah, Teteh sudah wisuda toh?” sambil memeluku erat.
“Iya Tante, alhamdulilah kemarin di wisuda.” sambil ku cium tangannya.
“Tuh kan Tante bilang apa, pasti saat wisuda harus mampir ya Teh.” kata Tante.
“Eh.. iya Tante ini sudah datang.” kataku menjawab.
“Sudah-sudah toh Mah, disuruh masuk dulu tamunya.” kata Om Sugeng tiba-tiba datang.
“Oh iya sampai lupa, mari masuk.” Kata Tante.
Saat masuk ke dalam rumahnya, mataku tak habisnya melotot, ruang tamu yang minimalis namun elegan dengan warna dinding putih serta kain hordeng berwarna emas dan sofa besar berwarna putih yang berada di tengah ruangan. Tak lupa ada rak kaca berisi deretan souvenir dari luar negeri-sepertinya segaja dibeli oleh Tante pertanda mereka mengunjungi luar negeri- mulai dari gantungan kunci, piring kecil, lambang khas negera. Hingga di pojok ruangan terdapat sebuah hp tab seukuran 5 inc yang ternyata berisi foto-foto saat mereka liburan. Hp itu menayangkan tiap foto dari kebahagiaan mereka liburan.
Sambil tersenyum kulihat-kulihat foto-foto itu, bukan karena orang di dalam fotonya atau tempat liburannya, namun karena idenya yang kreatif dengan menampilkan slide foto dengan hp tab.
“Itu keisengan Mas Aryo, Teh. Tante sih ga begitu ngerti, tapi dia yang buat foto-foto bergerak disitu”. Tante Sugeng menjelaskan karena terlihat sekali saya tertarik dengan hp tab itu.
“Idenya kreatif, Tan. Teteh suka, nanti aah di rumah buat, boleh ya Bu?” Tanyaku pada Ibu.
Seisi rumah langsung tertawa dan bos Ayah, yaitu Pak Sugeng menepuk-nepuk bahu Ayah.
“Putrimu ini jujur sekali ya Pak Surya.”
“Ya begitulah, Bos, tiap hari ada saja kelakukannya.” jawab Ayah.
Saya mendengar percakapan mereka, merasa bingung dan akhirnya bertanya kembali.
“Beneran boleh ga nih Om, Tante, ide kreatif ini teteh pakai nanti di rumah.” Tanyaku.
Saat tante Sugeng hendak menjawab terdengar suara ngebas yang mengagetkanku.
“Harus bayar hak ciptalah kalau mau pakai ide orang.” jawab Aryo.
Inka yang kaget langsung menoleh dan melihat ciptaan Tuhan yang sempurna. Tinggi, putih, badan berisi, rambut pendek. Mirip-mirip Kapten Ri gitu. Oh my God, tipe gue banget, batinku.
Tiba-tiba Ibu menjawab “Wah iya tuh Teh, harus bayar royalti ke Mas Aryo.”
“Hehe, bercanda kok tante, sehat Tan, Om?” sambil memcium tangan Ibu dan Ayah dan saya hanya mematung berdiri melihat Mas Aryo yang sedang menyalami kedua orang tuaku.
“Hmhm, Tante boleh permisi ikut ke toilet tidak?” tanyaku pada Tante Sugeng.
“Boleh cantik, sini tante antar.” jawab tante,
“”Terima kasih Tante baik deh.” sambil senyam-senyum menggandeng tangan tante, dan mengacuhkan sosok lelaki yang mengawasiku terus dari tadi.
Saat di dalam toilet, Inka merutuki diri, dan melihat ke wajah, apakah merah karena malu ketahuan liatin itu cowok. Inka menyalakan keran wastafel dan mencuci tangan. Lalu ke luar dari toilet, karena sibuk merapikan baju dan melap tangan dengan tisu, Inka tidak memperhatikan jalan di depan dan menabrak seseorang. Brugh... tubuh Inka sempoyongan hampir jatuh ke belakang, namun tangannya ditarik dan didekap seseorang sehingga ia terselamatkan dan tidak jatuh terjungkal.