PRAK!
"Apa ini?" Sung A mendongakkan kepalanya melihat wajah Suaminya setelah lelaki itu melemparkan sesuatu di mejanya.
"Lihat saja dulu, jangan terlalu dipikirkan." Dengan enteng Putra Mahkota bersedekap dada tanpa mau menatap Istrinya.
Sung A membuka sebuah kotak kayu tersebut. Kedua matanya melebar, bahkan bibirnya juga sampai ternganga melihat itu hingga ditutupnya menggunakan kedua tangannya.
"Woah ini kan alat tulis?" Mata sipit itu mulai berbinar melihat bahwa yang ada dalam kotak itu ialah sebuah alat tulis beserta kertasnya. Alat tulis dberupa kuas dan tinta hitam, beserta dengan kertas buramnya. Putra Mahkota ikut senang melihat reaksi Sang Istri.
"Duduklah, Putra Mahkota." Perintahmya lembut. Suaminya itu sedikit menghempaskan jubah kerasaannya dan duduk di tempat Puri Mahkota, mereka bertukar posisi. Sedangkan Sang Istri masih sibuk mengambili alat tulis tersebut dan menaruhnya di meja.
"Apakah kau memang sesuka itu dengan menulis?" Putra Mahkita penasaran dengan hobi yang selama ini Istrinya gemari. Sang Istri mengangguk malu dengan bibir yang terkulum ke dalam. Wajahnya sedikit memerah mengetahui Putra Mahkota mulai memperhatikannya.
"Ya, aku suka menulis dari dulu waktu kecil. Aku sudah terbiasa dengan toko buku untuk mengirimkan seluruh karyaku disana, kau sendiri?" jelasnya. Sung A kemudian menanyakannya kembali pada Putra Mahkota disertai tolehan kepala pada suaminya tersebut.
"Aku? Ekhm! Aku... juga suka menulis, makannya aku sedikit kesal saat mengetahui bahwa Ayah dan Ibu hanya menyediakan kompetisi itu untuk para gadis. Dan ternyata tujuannya untuk menikah," Sung A agak sedikit terkejut mendengarnya.
"Mungkin jika tidak begitu, kita tidak akan bertemu," sahutnya dengan malu-malu. Putra Mahkota dengan samar pun tersenyum juga.
Rasa cinta mereka tumbuh semenjak setelah melakukan hubungan suami istri. Rasa saling membenci pun perlahan memudar dengan sendirinya. Dan itu jelas membuat Putri Chaera yang dulunya dekat dengan Putra Mahkota itu cemburu. Meskipun begitu, rasa cinta Putra Mahkota tak luntur dengan Istrinya. Apalagi sekarang Ia baru mempunyai satu Istri, jika rasa cintanya berlanjut hingga ke jenjang mereka naik tahta, maka tak ada Selir yang bisa memenangkan hati Putra Mahkota. Selir hanya dijadikan sebagai formalitas politik saja tanpa adanya rasa cinta di dalamnya, seperti Ayah dan Ibunya sekarang.
"Benar juga, aku masih ingat kejadian di Pasar Loak, ternyata kau itu gadis bar-bar ya, hahah," kekehnya.
Sung A semakin malu jika hal itu dibahas lagi. Kejadian yang memang sudah membuatnya emosi karena karya dijiplak orang lain. Sebenarnya dirinya hanya tidak terima dan ingin menggertak lelaki tua itu supaya berhenti menjiplak novel yang dibuatnya untuk mendapatkan uang, namun karena emosinya sudah diubun-ubun, sampaiu-sampai seluruh rak buku dihancurkannya.
"Hahaha, sudahlah, jangan dibahas lagi. Itu kejadian memalukan,"
"Memangnya ada masalah apa sih? Sampai kau segitunya dengan lelaki tua pemilik toko di Pasar Loak itu?"
"Kau pikir apa, huh? Aku hanya tidak terima jika karyaku dijiplak olehnya. Dia tukang menjiplak karya orang, tahu,"
"Novelku yang berjudul The Lampion Festival juga dijiplaknya,"
"Apa? Jadi itu karyamu?" Sung A mengangguk.
"Kau pikir karyanya?" Sung A menunjung-nunjuk dirinya sendiri.
"Ini, inilah pemikir dan menulis aslinya asal kau tahu." Putra Mahkota tertawa lagi.