Permata Hati

Awang Nurhakim
Chapter #5

Mimpi.

Sinar lampu dari dalam rumah keluar lewat sebuah pintu yang terbuka. Cahayanya jatuh menimpa dedaunan dan bunga-bunga di pekarangan depan sebuah rumah. Dari kilau cahayanya itu memantulkan sinarnya hinggap pada sebatang pohon palm. Yang di tanam berjajar di pagar depan halaman rumah.

Sementara tatapan rembulan malam ini sangat cemerlang. Sinar lurusnya membentuk sudut empat puluh lima derajat menuju bumi. Dari arah kaki sebuah bukit membentang luas membelah cakrawala. Sepanjang mata memandang adalah dataran hijau daun pucuk tebu menembus lautan pandang.

Raffi tertegun dalam kesendirian. Menikmati pemandangan hijau lahan perkebunan tebu milik Kelompok Taninya. Tak terasa sudah lebih setahun dia menetap dan bersosialisai di desa ini. Suatu hasil yang cukup menggembirakan telah mulai dapat terlihat.

Implementasi dari Proposal Pilot Proyeknya telah menjadi kenyataan. Lahan-lahan tebu percontohan tumbuh subur menghijau. Pembinaan tahap pertama terhadap masyarakat petani tebu dinilai cukup berhasil. Dimana ini akan menjadi awal Pembangunan Intensifikasi tebu rakyat yang lebih luas di masa depann.

Malam ini Raffi masih merenungi keajaiban alam ciptaan Yang Maha Kuasa. Dia duduk di sebuah bangku panjang dari bambu. Di depan pagar pintu masuk pekarangan rumah kakek. Sebatang pohon Palm yang ada di dekatnya telah menyembunyikan dirinya dari dua arah sinar yang berbeda. Satu arah sinar lampu dari dalam rumah dan satu arah lagi sinar cahaya dari sang rembulan.

Dari depan rumah kakek terdengar Ella memangil-manggil namanya sambil mencari-cari. Dia berjalan ke arah pintu masuk pekarangan tempat Raffi duduk. Kalau saja Raffi tidak menyahuti panggilannya, niscaya Ella tidak akan menemukannya.

“Kak Raffi dimana?” tanya Ella.

“Aku disini, Ella.” jawab Raffi ketika itu Ella sudah didekatnya.

“Hhaa ...” pekik Ella terkejut ketika berjalan disamping pohon palm. Ternyata Raffi ada disebaliknya.

“Aku sedang menantimu, Ella.” Raffi tertawa.

Lalu dengan seketika tangan Ella memukul-mukul bahu Raffi, “Dari tadi dicari-cari, eh … enggak taunya disini,” celotehnya.

“Aku sedang menantimu untuk menikmati sang rembulan,” kata Raffi mengulangi sambil menyilahkan Ella duduk disampingnya.

“Kak Raffi jahat deh, dari tadi enggak ajak-ajak.” Ella cemberut.

"Yang penting sekarang Ella sudah ada disini, malam ini kakak akan menemani Ella sampai … pagi,” canda Raffi.

“Sampai pagi, kak?” tanya Ella polos.

“Ya, sampai pagi,” jawab Raffi masih tertawa ,”Lihatlah, rembulan bersinar dengan cahayanya yang penuh. Langit tak terpoles awan barang segarispun. Andai aku bisa terbang kesana ....” Raffi tidak meneruskan kalimatnya.

“Aiih … Kak Raffi pandai berpuisi,” celotehnya lagi dengan manja.

“Ya berpuisi, ya bersyukur pada Tuhan. Bahwa malam ini kita diberi penerangan dengan sinar cahayanya yang murni alami,” balas Raffi dengan senyuman yang menggoda.

“Aku senang deh kalau kakak berpuisi, teruskan dong,” pintanya sambil merengek. Rupanya Ella mulai tergoda juga.

Raffi tak bisa melewatkan kesempatan bersama gadis yang bermanja disampingnya ini. Ide konyolnya segera diperagakan. Dia memberi isyarat dengan mengangkat telunjuk jarinya ke hidung agar Ella diam serius mendengarkan.

“Sekarang aku mau bercerita,” sambil ucapnya kemudian.

“Ayo cepetan, kakak mau cerita apa,” sahut Ella tak sabaran.

“Oke, kita mulai, satu ... dua ... tiga ...” canda Raffi.

“Ah, mau cerita saja pakai dihitung.” Ella cemberut. Raffi tertawa lagi.

“Rembulan adalah tempat bersemayamnya para Bidadari dari kahyangan. Bila bulan purnama tiba seperti ini, para Bidadari yang berjumlah tujuh itu akan turun ke bumi. Untuk bermain-main dan mandi di sebuah telaga yang sunyi,” kata Raffi mengawali ceritanya.

"Telaga yang sunyi? jadi tempat kita main disana itu?" tanya Ella merujuk rawa di lembah sunyi di ladang sana.

"Bisa jadi seperti itu,” jawab Raffi asal.

“Bidadari itu cantik ya, kak ?” tanyanya lagi.

“Bidadari itu sudah pasti cantik seperti Ella …” jawabnya sambil mencubit pipinya yang ranum. Ella meringis bertambah manja menatap Raffi, “Tahukah Ella, kenapa bidadari itu di-bilang cantik?” balik tanya Raffi terus menggodanya.

“Namanya juga bidadari, kalau nggak cantik, bukan bidadari. Iya kan ?” jawab Ella dengan penuh percaya diri.

“Iya itu benar. Tetapi Petanyaannya kenapa Bidadari dibilang cantik?” tanya Raffi masih menggoda. Dibiarkan sejenak gadisnya itu berpikir serius. Tetapi nampaknya Ella kelabakan mencari jawabannya.

“Ah, nggak tahulah. Apa maksudnya?” katanya kemudian dengan merajuk.

“Maksudnya begini, Ella tadi menyebut kalau nggak cantik namanya bukan bidadari. Nah, disebut cantik itu dari mana asalnya, begitu maksudnya.” Raffi mengulangi pertanyaannya.

“Ah, nggak tahu-lah,” jawabnya lagi setelah sejenak berpikir.

“Jadi menyerah ?” tanya Raffi meledek.

“Ya, aku menyerah.” Ellaa pasrah.

“Karena bidadari itu punya dada." sebut Raffi lalu diam.

“Kakak jorok, ah. Ella Nggak mau …” protesnya dengan bersungut.

Raffi tertawa, "Maksudnya begini Ella, Kalimat Bidadari coba kalau di hilangkan “dada”nya menjadi “biri” saja. Kan nggak bisa di sebut cantik,” katanya menjelaskannya.

"Aih, Kak Raffi ada-ada saja." Ella masih cemberut.

“Lha benar apa tidak? Cobalah kamu pikirkan.” Raffi menahan tawanya.

“Teruskan ceritanya yang tadi, kak,” pintanya mengalihkan perhatian.

Raffi menuruti meneruskan ceritanya, “Al kisah ada seorang pemuda bernama Jaka Tarub. Kebetulan sedang melewati telaga sunyi itu dan melihat ke tujuh Bidadari sedang mandi. Maka timbul niatnya untuk mencuri salah satu kain dari Bidadari tersebut,” cerita diputus sejenak.

“Terus ?!” pintanya lagi seperti dengan rasa penasaran.

“Untuk seterusnya terserah anda,” jawab Raffi.

“Ah, Kakak kok begitu, sih?” Ella merajuk lagi.

Raffi bersemangat bisa mempermainkan perasaan Ella. Lalu melanjutkan. “Dengan akalnya Jaka Tarub mengambil salah satu kain selendang dari tujuh bidadari tersebut.”

“Untuk apa kain selendang bidadari itu, ya kak ?” potong Ella.

“Sebenarnya Jaka Tarub hanya iseng karena terpesona oleh kecantikan ke-tujuh bidadari itu. Dia ingin melihat reaksi bidadari ketika kain selendangnya hilang,” lanjut Raffi.

“Terus ?!” kejar Ella tambah semangat mendengarkan.

“Bidadari yang kehilangan selendangnya kebingungan. Sementara waktu tinggal di bumi sudah habis dan mereka harus kembali ke kahyangan. Maka para bidadari itu segera terbang ke langit. Tinggallah satu bidadari yang kehilangan kainnya.”

“Kasihan juga ya, kak. Bidadari itu tinggal sendirian di telaga sunyi.”

“Dia tidak sendirian, kan ada Jaka Tarub yang mencuri kainnya.”

“Oya ...”

“Jaka Tarub terkejut yang tidak menyangka, ternyata bidadari yang cantik itu jatuh cinta padanya. Akhirnya mereka menikah dan hidup berbahagia dengan anaknya yang sangat mereka sayangi.” Raffi mengakhiri ceritanya. 

“Terus, bagaimana kelanjutannya ?” semangat Ella tak berhenti.

“Kan sudah selesai,” kelakar Raffi.

“Ah, masak, sih ...” rengeknya sedikit ngambek

“Itu cerita dari dunia yang namanya antah berantah. Jadi sekedar hanya untuk hiburan saja.” Raffi ketawa lagi.

”Kakak bikin orang penasaran aja,” gerutu Ella.

Lihat selengkapnya