Saat ini Raffi sudah berada di Lobby boarding Pass menuju ruang tunggu Bandara Radin inten II Lampung. Mudah-mudahan semua rencananya terlaksana sesuai dengan harapan, pikirnya. Lalu dia duduk manis menunggu jadwal penerbangan pesawat sore ini.
Dia menengok arloji di tangannya. Dia mendapat tiket pesawat keberangkatan pukul 16.45 untuk destinasi Jakarta. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 16.30. Berarti masih ada waktu lima belasan menit dari jadwal tunggu sebelum pesawat take off.
Beruntung semua urusan pekerjaannya selesai tepat pada waktunya. Sehingga meskipun pas mepet betul waktunya dia bisa berangkat hari ini. Malam nanti dia harus menginap dulu di hotel, paginya menyelesaikan agendanya Jakarta.
Setelah selesai urusannya di kantor Dirjen besok, dia harus ke rumah tante Erna untuk menyampaikan titipan Kakek. Kemudian sorenya langsung terbang ke Jogya menuju ke Klaten. Dia ingin menghadiri undangan resepsi pernikahan Pram dan Pretty.
Pesta pernikahannya dilaksanakan secara besar-besaran, pikirnya. Pasti bakal ramai banget, sekaligus sebagai acara re-unian teman-teman SMA. Sebuah surprise baginya, karena sejak lulus SMA tak pernah lagi ada kontak dengan teman-temannya.
Waktu Pram menelefon, secara iseng Raffi menanyakan soal Ranni. Eh, ternyata dia masih belum juga married. Raffi hanya bisa menyimpan berita tentang Ranni ini ke dalam hatinya, Dia tidak bercerita pada sipapun, apalagi pada Ella ataupun pada kakek.
Alasan utama mengapa Raffi tidak menceriterakan hal ini kepada mereka. Karena dia sudah merelakan Ranni memilih masa depannya sendiri. Sementara dia sendiri juga sudah berupaya menghapus Ranni dari hidupnya.
Selama ini dia memang jarang pulang ke Klaten. Masalahnya dia tidak ingin mendengar berita tentang Ranni. Dia punya perasaan emosional yang tinggi terhadapnya. Kalau Ranni bahagia, dia akan ikut bahagia. Tetapi kalau tidak, dia akan merasa berdosa.
Namun dalam mimpi semalam itu sangat mempengaruhi pikirannya, Raffi tersenyum tipis. Di-saat dia sudah medapat penggantinya, Ranni justeru hadir kembali dalam pikirannya. Maka dia harus bisa menghilangkan kebimbangan ini bagaimana pun caranya.
Tiba-tiba Handphone Raffi berbunyi, ada panggilan tanpa nama. Walau waktu sudah mepet begini Raffi menyempatkan menerima telfonnya. Setelah sedikit bermasalah dengan cara berkomunikasi akhirnya tahu penelefonnya ternyata Ranni.
“Apa khabar?” tanya Raffi dengan nada setengah terkejut.
Suara dari dalam Hp Ranni sepertinya susah untuk menjawab, menyiratkan ketegangan di dalam hatinya, “Baik, aku baik-baik saja,” jawabnya Ranni akhirnya.
Raffi hanya bisa tersenyum atas jawabannya itu, “Syukurlah, aku memang berharap kamu bahagia,” kata Raffi setelah situasi dari dalam Hp-nya tenang.
Terdengar lagi suara dari sana ada suasana kegembiraan tetapi tertutup oleh rasa sendu. Sepertinya Ranni sambil menangis, “Aku, aku bahagia ...” ucapnya terbata.
“Ranni, mengapa kamu menangis? Kamu nggak usah menangis.” Raffi berusaha mencoba menenangkan.
“Aku hanya merasa bahagia bisa berbicara sama kamu,” suara Ranni masih terdengar sendu.
“Aku juga bersyukur sudah dengar cerita kamu dari Pram,” kata Raffi yang sebenarnya agak terkejut mendengar kalimat Ranni yang nadanya antusias ketemu dirinya.
“Omong-omong, Pram cerita apa sama kamu?” suara Ranni sudah mulai jernih.
“Iya, katanya kamu sudah jadi orang sibuk. Selamat, ya,” ucap Raffi dengan tulus.
“Iya, selamat juga buat kamu yang sudah jadi Sarjana bertugas di Lampung.”
“Hanya Sarjana Pedesaan, Ran, nggak seperti di kota.”
“Namanya juga bekerja, mau di desa atau di kota sama saja.”
“Sudah jalan hidupku, aku memang harus di desa,” ketika mengucapkan kata-kata itu, entah kenapa Raffi ingin menunjukkan bahwa tidak mungkin dia balik lagi ke kota. Padahal dia memilih penempatan di desa sebenarnya untuk melupakan Ranni.
“Ya, sudah. Yang penting dijalani saja dulu,” nada suara Ranni terdengar justeru senang.
“Di desa nggak seperti di kota, semua serba sederhana.” Raffi bermaksud mengingatkan.
“Meskipun di desa yang penting hati senang, happy, bukankah begitu?” lanjut Ranni.
Raffi menghentikan sejenak pembicaraannya. Ya, memang senang, happy, karena ada Ella disana. Dia tidak dapat menahan perasaannya untuk tidak tersenyum gembira. Tetapi dia segera sadar Ranni adalah kekasih-nya dari SMP hingga SMA.
Suasana di Bandara saat ini penuh kesibukan oleh para penumpang. Terdengar panggilan melalui speaker bahwa semua penumpang agar bersiap menuju pesawat. Terlihat petugas security Bandara tampak sedang memperhatikan dia seperti hendak menegur.
Raffi menganggukkan kepala tanda sudah mengerti agar menghentikan telefonnya. Petugas itu pun memaklumi dan segera berlalu dari hadapan Raffi. Sementara itu semua penumpang sudah bergegas menuju tangga ke pesawat.
“Ohya, Ranni ... maaf ya ... Aku sedang di Bandara dan pesawat sudah siap terbang.” Raffi berusaha untuk menyudahi telefon.
“Kamu mau kemana?” Tanya Ranni nadanya terkejut.
“Aku akan ke Jakarta untuk urusan pekerjaan,” jawab Raffi.
“Ke Jakarta?”
“Iya, ada hal penting yang harus aku selesaikan di kantor Dirjen.”
“Oh begitu ... ada undangan pernikahan Pretty dan Pram?”
“Iya, Pram mengundangku.”
“Bisa hadir nggak?”
“Hadir, dong. Mudah-mudahan sehari besok urusan di Jakarta kelar langsung cabut ke Klaten,” setelah mengucapkan kalimat itu rasanya Raffi agak menyesal. Karena seperti memberi harapan pada Ranni bahwa besok akan bertemu.
“Ya sudah, aku hanya ingin memastikan saja,” suara Ranni nampaknya lega.
“Sampai ketemu ya,” kata Raffi akhirnya.