Permata Hati

Awang Nurhakim
Chapter #8

Alih Profesi

Ranni sedang menuliskan sesuatu di buku diarynya. Ketika sepasang pria dan wanita mendatangi tokonya langsung berdiri di depan etalage. Ranni menggantung ujung penanya di jari melepaskan sejenak tulisan di bukunya. 

Dia dapat melihat dari sudut matanya sepasang muda mudi itu dilayani oleh ibunya. Mereka sedang memilih-milih perhiasan cincin emas yang dipajang disitu. Lalu dengan sigap tangan si pria memasukkan sebuah cincin ke jari manis si wanita.

Si-pria sedang mencoba mengukur seberapa besar lingkaran cincin yang pas untuk si-wanita. Nampaknya mereka pasangan kekasih yang akan segera melepas masa lajangnya. Terlihat dari cara dan sikap mereka berinteraksi manja dan penuh kegairahan.

Tak sengaja dia telah memandangi pasangan yang masih serius dengan pilihan yang akan dibeli. Si-pria berwajah tampan dan menawan, Si-wanita manis lembut dan berseri-seri. Menggairahkan. Sungguh mereka merupakan pasangan yang ideal.

Terbesit dalam pikiran Ranni betapa beruntung mereka memiliki masa muda yang sempurna. Ranni tersadar dari lamunan ketika mereka telah menjatuhkan pilihannya. Ranni berpura-pura sibuk dengan buku diary-nya. Dalam hati Ranni sangat malu karena hampir saja ketahuan sedang memperhatikan mereka.

Ibunya meletakkan perhiasan yang dibeli diatas meja Ranni. Dia segera menutup buku diarynya. Lalu menghitung harga emas itu dengan alat pemindai barcode. Dia memandang layar LED computer dengan hati-hati. Kemudian menyebutkan besaran uangnya yang harus dibayar.

Si-pria membayarkan uangnya pada Ranni yang kemudian meng-packing perhiasannya. Lalu memberikan barang itu bersama uang kembalian dengan mengucap terima kasih. Si-pria dan Si-wanita tersenyum membalas dan segera melangkah keluar toko.

Untuk beberapa saat Ranni masih terkesima. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya ingin sekali seperti pasangan itu. Tetapi dia segera sadar dan berusaha membuang jauh-jauh perasaannya. Kemudian membuka kembali buku diarynya meneruskan tulisannya.

Sudah sebulan ini Ranni membantu ibunya di toko. Banyak pesanan perhiasan emas dari para pelanggannya. Telah menjadi sumber penghidupan yang tak pernah ada titik jenuh. Dia benar-benar menjadi pengagum ibunya.

Ternyata ibunya mempunyai masa depan yang lebih menjanjikan. Ranni memutuskan untuk Alih profesi. Dia akan mencurahkan seluruh perhatiannya membantu ibunya di Toko. Maka kemudian niatnya itu disampaikan kepada ibunya.  

“Ibu, aku ingin belajar mengelola toko seperti ibu. Bekerja secara mandiri tanpa terbebani oleh orang lain,” ucapnya penuh harap.

“Ranni, kalau itu memang sudah keputusanmu, ibu setuju sekali. Yang penting bisa membuat kamu senang,” sambut ibunya dengan perasaan setulus hati.

“Iya, Bu. Ranni ingin berbuat untuk ibu. Maafkan Ranni ya, bu. Selama ini Ranni hanya merepotkan ibu saja,” suara Ranni terdengar bergetar.

“Ibu bisa melihat kamu gembira saja sudah sangat senang, kamu nggak usah berpikir apa-apa soal ibu.” Ibunya memandangi Ranni. Merasa kasihan Ranni tidak bisa melupakan Raffi. Ibunya terus berusaha menghiburnya.

“Ranni mengerti, bu. Betapa kekuatan ibu membuat Ranni semakin sadar menjalani hidup ini se-realistis mungkin,” ucap Ranni secara tidak disadari.

“Iya, Ranni. Ibu memahami perasaanmu. Hanya ibu tidak tega melihat kamu sedih dan terus melamun,” kata ibunya sembari mengusap air matanya yang meleleh di pipinya.

“Enggak kok, bu. Ranni sudah nggak bersedih lagi, dan nggak akan melamun lagi.” Ranni menatap ibunya dengan lembut.

Didorong oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang ternyata sangat menggugah hatinya. Untuk mengeksistensikan diri membangun jiwa dan semangatnya. Membangunkan kesadaran begitu banyak hal yang bisa di perbuat sehingga tidak terlela masa lalu.

“Kamu memiliki kharisma sendiri, Ranni. Ibu yakin suatu saat kamu bisa mendapat apa yang kamu inginkan, jodoh yang sesuai dengan hatimu.” Ibunya memberi semangat.

“Ibu benar, aku akan berhati-hati dalam memilih jodoh-ku. Aku tidak ingin tergesa-gesa untuk menikah, walaupun usiaku sudah cukup. Aku tidak suka hidup mewah, kalau hati ini tidak bisa menyatu,” ujar Rani dengan mata berkaca pula.

“Ibu hanya bisa berdoa untukmu. Siapapun pilihanmu, sekarang ibu yakin itu pilihan yang terbaik. Ibu akan mendukungmu” Ibunya mengangkat dagu Rani.

Rani sangat senang dan terharu mendengarnya. Dia pun langsung memeluk ibunya seketika itu. Sejujurnya Ranni juga merasa takut jika segera menikah. Takut akan kehilangan sosok ibunya. Mungkin nanti tidak akan bisa lagi sedekat ini.

“Terima kasih ibu ... terima kasih. Aku bisa mengambil banyak sekali pelajaran hidup dari ibu. Tentang kekuatan, ketegaran, kesabaran, kesetiaan dan pengorbanan.” Ranni membenamkan wajahnya di bahu ibunya dengan masih memeluknya erat.

Pada kesempatan ini Ranni menyampaikan kembali niatnya kepada ibunya. Bahwa dia ingin fokus mengelola toko agar bisa seperti ibunya. Bak gayung bersambut, ibunya sangat gembira. Saat itu juga ibu menyerahkan pengelolaan Toko kepadanya.

Ibunya memberikan nasehat, pekerjaan tidak hanya sekedar mencari uang. Tetapi lebih kepada ketenangan hati dan kematangan jiwa. Mendengar keputusan ibunya itu, Ranni tidak ragu lagi. Setidaknya untuk beberapa waktu dia akan menggantikan ibunya di toko.

Sesaat ibu dan anak itu larut dalam suasana yang penuh emosional. Baginya Ibu tidak sekedar seorang ibu. Tetapi sudah menjadi guru baginya. Ibunya memberikan nasehat-nasehat tentang banyak hal penting dalam hidup. Sungguh Ranni sangat bersyukur terlahir menjadi anaknya.

                                                              ***

Sekarang Ranni sudah menjadi pengelola langsung toko emas milik ibunya. Dia sudah jadi Manager di tokonya sendiri. Harus diakui bahwa status ini adalah sebagai dampak dari rasa frustrasi pada Raffi. Tetapi hal itu justeru menjadi hikmah tersendiri baginya.

Sebagai pengelola langsung toko emas, dia perlu fasilitas yang lebih fleksibel. Tabungan dari kiriman ayahnya dan selama bekerja di Tours dan Travel dibelikan sebuah mobil. Jadilah dia seorang pengusaha wanita yang berpenampilan Prestige.        

Malam semakin larut ketika Ranni baru saja pulang dari Jogya. Malam menjadi sepi karena toko dan warung-warung disepanjang perjalanan pulang sudah banyak yang tutup. Orang-orang yang beraktivitas dengan sepeda motor atau pun mobil di jalanan juga sudah jauh berkurang. 

Ada beberapa konsumen tokonya memesaan perhiasan dari bahan emas putih. Seperti biasa dia harus bolak balik karena proses pembuatannya di Jogya. Kemudian disana banyak berdiskusi sama Encik Si-desainer emas hingga malam.

Ranni menghela nafas panjang menjalankan mobilnya dengan santai. Dia sengaja pulang terlambat, ingin sekali menikmati kebeningan malam ini. Setelah menyadari bahwa dirinya harus bisa MoveOn dari masa lalunya.

Namun kadang masih terlintas di-benaknya, malam begini Raffi sedang apa disana? Ya, pasti sedang bercengkerama dengan kekasih barunya itu, jawabnya sendiri. Ah, lamunan selalu datang tanpa disadarinya.

Anyway, dia harus menerima apa pun yang akan terjadi. Menunggu berita dari tante Lies yang akan menelusuri calon isteri Raffi. Apakah benar gadis itu anak ayahnya dari pernikahannya dengan tante Erna.

Baru saja dia bernafas lega, sekilas di handphonenya ada yang menelefon. Tanpa melihat siapa penelefonnya Ranni menggeser tombol answer di layar Hp-nya.

“Ya, halo ...?”

“Lagi apa, Ran?”

Ranni langsung duduk tegak. Raffi, kayaknya kalau mendengar suaranya dari dalam Handphone ini. Hmm, butuh ketenangan yang ekstra nih sama orang satu ini. Meskipun menganggap sudah putus hubungan, tapi hatinya tetap saja dag-dig-dug.

Otw dari Jogya mau pulang.”

“Wah extra sibuk kayaknya sampai malam.”

”Ya ... Eh, kenapa nelefon aku?” tanya Ranni pura-pura nggak suka.

Terdengar Raffi tertawa pelan, “hahaha ... enggak, kok. Cuma mau tahu aja, katanya kamu alih profesi jadi Juragan emas.”

Ranni nyaris kena serangan jantung, kok bisanya Raffi tahu. Pastilah nenek bawel itu sudah nyuruh Pram nelefon Raffi. Terus ngomong dirinya seperti itu. Jangan-jangan pula ngatain kalau dirinya patah hati sehingga Raffi jadi GeEr, engggak-lah, ya.

Lihat selengkapnya