Ranni memang sudah tak menghiraukan lagi hari, tanggal, dan bulan. Bahwa saat ini sudah memasuki tahun ajaran baru sekolah dan juga masa liburan pertengahan tahun. Raffi sudah daftarin Ella kuliah. Namun tanpa di-sadari didalam hatinya masih ada dia.
Raffi adalah nama cinta pertamanya yang hingga saat ini masih belum hilang. Bahkan tentang perasaan ini sulit sekali dimengerti. Semakin Ranni mengatakan tidak mencintainya. Semakin menegaskan bahwa dia adalah pengobat hati untuknya.
Padahal Ranni menyadari Raffi tidak pernah membutuhkannya lagi. Dirinya sudah tidak mempunyai daya tarik lagi baginya. Dia bukanlah wanita yang dianggap penting lagi dalam hidupnya. Raffi hanya berniat membunuh hari-hari sepinya. Selebihnya tidak.
Waktu yang ditentukan Raffi untuk mengambil pesanannya telah tiba. Hari ini Ranni sedang menunggu kedatangan Raffi. Di-telefon sudah janjian akan bertemu dirumah saja. Di toko tidak nyaman karena terganggu pembeli yang datang.
Tiba-tiba Ranni dapat telefon dari Pram, yang panik meminta tolong Ranni agar segera ke Rumah Sakit. Katanya Pretty mendapat kecelakaan mobilnya menumbur pembatas jalan. Karena berusaha menghindari anak-anak yang menyeberang.
Pram bilang lagi tugas luar nggak memungkinkan datang ke rumah sakit secepat ini. Pretty harus ditangani sesegera mungkin takutnya terjadi apa-apa pada dirinya. Ranni panik juga, tanpa berpikir Raffi lagi, dia segera mengeluarkan mobilnya.
Bagaimana kondisi sahabatnya itu? Berat atau nggak sakitnya, bagaimana kalau gegar otak? Atau nggak sadarkan diri? Bagaimana kalau sampai kandungannya berpengaruh karena kecelakaan itu? Bagaimana kalau kondisinya semakin gawat?
“Ranni, tunggu ...” Ranni menatap ke depan kaca mobilnya. Raffi ternyata sudah datang sedang memarkir mobilnya di depan rumah.
Selesai memarkir mobilnya Raffi langsung menghampiri Ranni yang sudah siap mau pergi. Raffi terheran menyaksikan raut muka Ranni tampak tegang. Kepanikan Ranni dua kali lipat karena harus mengurusi Raffi juga saat ini.
“Fi, aku mau ke Rumah Sakit dulu, Pretty kecelakan,” katanya pada Raffi dengan nada yang cemas.
“Aku ikut ... pakai mobilku saja ... aku bawa mobil adikku,” jawab Raffi menawarkan diri.
“Oya udah, kalau gitu aku nggak jadi ngeluarin mobil,” ucap Ranni secara reflek.
Di Rumah Sakit keduanya berlari-lari kecil mencari ruang tempat menangani kecelakaan. Ranni sempat bertanya pada suster yang ditemui di depan ruang UGD. Pretty Temannya yang barusan mengalami kecelakaan. Dijawab yang namanya Pretty ada di dalam ruang itu.
Ternyata Pretty baru saja selesai mendapat perawatan. Pretty terlihat masih duduk bersandar bantal di atas kasur ranjang UGD. Kakinya berselonjor ke depan dan ada tambalan verban se-ukuran kartu ATM di sudut jidatnya.
“Woi! Sini deh, cepetan!” terdengar suara panggilan Pretty bergema di dalam ruangan.
Ranni dan Raffi melangkah cepat ke arah Pretty yang tampak terheran ada Raffi juga disini.
“Katanya kamu tumburan, kok masih bisa teriak-teriak?” Ranni langsung menyembur.
“Telinga kamu aja yang sensitive, orang manggilnya biasa-biasa di bilangin teriak,” Pretty seperti memprotes, tidak sadar kalau didalam ruangan ini kedap suara.
“Iyaa, kayak tukang ayam ngobral dagangan ... Benar sakit nggak kamu?”
Pretty mendelik kheki, ”Sialan kamu, Ran. Orang lagi kena musibah, kena kecelakaan masih juga di-ledekin. Eh, kok ada Raffi?”
Ranni mengamati Pretty, “Dia mau ngambil pesanan, pas nyampai di rumahku, aku dah siap mau kesini, jadi langsung aja dia ikut.”
Pretty tersenyum mengangguk, kemudian Raffi buru-buru memberikan tangannya untuk bersalaman, ”Nggak nyangka kalau kamu kena musibah, yang sabar, ya.” ucapnya.
“Aku mau berangkat kerja, di jalan eh, anak-anak tiba-tiba nyeberang. Aku reflek banting stir, ya gini akibatnya.”
Ranni mengernyit, “Kamu tuh pasti lagi ngelamun bawaan jabang bayi, makanya lain kali mesti ekstra hati-hati.”
Raffi tersenyum ikut nimbrung, “Tapi nggak pengaruh sama kandunganmu, kan?” tanyanya.
“Untungnya pakai sabuk pengaman, tadinya sempat mules nyunsep di setir. Tapi kepalaku kebentur entah apa kena kaca apa kena pojok pintu mobil.”
“Untungnya lagi kamu nggak gegar otak, jadi masih bisa teriak-teriak. Kalau sampai geger otak, sudah deh nggak bisa lagi kamu ngoceh-ngoceh,” sahut Ranni sambil sedikit cekikikan melihat kondisi Pretty tampak sehat.
“Dokter tadi ngasih obat penghilang rasa sakit, tauuu? kalau nggak mungkin aku masih terkapar. Duh, sebelum itu pusingnya minta ampun.”
“Wah, gawat kalau gitu Prett, bisa-bisa geger otak beneran,” komentar Ranni.
“Jangan nakut-nakutin kamu, Ran. Emang kamu dokter?” Pretty merengut.
“Jadi apa tindakan selanjutnya?” tanya Ranni sambil tertawa.
“Tadi itu Pram nyuruh opname di Rumah Sakit untuk observasi. Kalau terjadi apa-apa bisa cepat di-tangani, tapi aku maunya di rumah saja, takut-lah di Rumah sakit.”
“Lho, gimana sih, Prett? Kalau memang harus nginep, ya nginep aja nggak apa-apa. Kamu mau aman nggak?”
“Pram enak aja ngomong, kalau nginep belum tentu dia nanti mau nungguin disini. Tolong ya Ran, urusin administrasinya aku mau di rumah aja,” pinta Pretty.
Ranni melotot, “Hah? Jangan rewel kamu Prett. Sudah jelas suami kamu minta di opname, ya harus nginep, jangan aneh-aneh-lah!”
Pretty merengut, “Aku bukan rewel, Ranniiii. Tapi aku ini penakut tiap hari ngeliat infus, ngeliat jarum suntik, ngeliat obat, malah bisa pingsan bukannya sembuh.”
Ranni masih nggak habis pikir, “Apa saran dari dokter?”
Pretty serius menjawab, “Kalau dokter bilang terserah, nggak apa-apa katanya.”
Ranni merespon gembira, “Jadi kamu milih pulang?”
Pretty mengangguk, “Ya iyalah. Tolong urusin administrasinya sekarang, gak pakai nanti.”
Sebetulnya Ranni ingin ketawa melihat Pretty merengek kayak anak kecil. Nggak sebanding kalau pas lagi jadi nenek bawel. Pretty terlihat hebat dan berwibawa sampai Ranni ngampun di depannya. Tapi dalam suasana seperti ini Ranni nggak tega juga.
Raffi tersenyum mendengar percakapan mereka lalu menengahi, “Dokternya siapa? Biar aku konsultasikan, kalau memang harus nginep ya nginep, kalau boleh pulang syukur, Kalau udah nanti tinggal laporan sama Pram, keputusan dokter begini, bagaimana?”
“Udah deh, Prett. Kamu pasrah aja, biar Raffi ngadep dokternya. Aku kan nggak bisa juga buat keputusan atas nama kamu,” kata Ranni, kemudian menyuruh Raffi pergi ke ruang Dokter .
“Terserahlah, tapi kalau harus nginep kamu harus nginep disini juga Ran ... nemenin aku” masih rengeknya.
“Beres, pokoknya nurut aja!”
“Raaann ...!” panggil Pretty setelah Raffi meninggalkan mereka.
“Apalagi?” sahut Ranni sambil mendekatkan diri ke Pretty.
Dengan mulutnya yang serius Pretty ngomong setengah berbisik, “Bener nggak prediksiku, Raffi itu kirim sinyal ke kamu! Jadi niatnya memang mau ketemu kamu. Soal pesanan itulah modus dia. Kamu masih nggak nyambung, ya?”
“Sudahlah Prett, kamu lagi sakit udah mikirin prediksi kayak mau pasang togel aja. Aku yang lebih tahu-lah, Dia kesini sekalian ke Jakarta ngurusin ceweknya mau kuliah. Jadi nggak melulu dateng kesini nemuin aku, ngerti?”
“Ya aneh-lah Ran, kalau ceweknya masih mau kuliah, dia udah pesen untuk lamaran. Logika-nya dimana?”
“Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin, menikah sambil kuliah banyak terjadi.”
“Kalau dua-duanya tinggal sama-sama mungkin saja. Kalau satu di seberang sana, satunya lagi di ujung sini, ketemuannya juga entah kapan. Bagaimana mau membina rumah tangga?” Pretty mencoba memberi pengertian.
“Ya, itu kan terserah kamu.” Ranni nggak ambil peduli.
“Ssst ... Ran, kamu harus ngirim sinyal juga ke dia,” bisik Pretty lagi.
“Sinyal apaan?”
“Sinyal perasaan ... kamu datangin Raffi ke tempat kerjanya di lampung.”
“Hhuh? Aku ke Lampung?” Ranni tampak bengong.