Hari itu hari pertama masuk SMA. Hari yang sudah saya nantikan ...
Pagi yang penuh harapan. Matahari tersenyum menumpahkan cahaya. Angin sepoi menemani langkah saya menginjakkan kaki di sekolah. Di sekeliling sekolah ada pemandangan superindah (lebih tepatnya pinggir sawah, hehehe ...). Langkah kaki saya bergerak masuk. Dan saya melihat deretan nama siswa baru dalam daftar pembagian kelas yang ditempel di kaca kelas saat mencari nama ... tiba-tiba saya mendengar panggilan untuk semua siswa baru agar berkumpul di lapangan basket sekolah. Kami segera menyemut ke sana. Semua menunggu panggilan.
Mata saya melihat ke sekeliling. Murid-murid dipanggil satu per satu un tuk bersatu dalam barisan kelasnya masing-masing. Dan akhirnya, nama saya dipanggil. Ternyata saya masuk kelas 1-3. Tubuh saya langsung bergerak me nuju barisan dan berdiri paling depan. Wajah-wajah yang belum saya kenal berada di barisan itu.
Waktu berjalan lambat.
Satu saat saya menengok ke belakang ... ada keinginan untuk meng amati barisan. Mata saya memburu satu demi satu calon teman.
Sampai pada satu titik waktu ...
Di bagian paling belakang barisan, terlihat ada kerumunan kecil. Saya masih ragu, apakah orang-orang itu masuk barisan kelas kami atau bukan. Dan saat itulah, saat mata saya menembak ke arah paling belakang, saya melihat sesosok gadis berjilbab panjang yang membuat mata saya tak bisa terpejam. Ia begitu anggun dengan senyuman merekah bak pelangi indah.
Lapangan basket yang luas serasa menyempit
Hati saya bergetar hebat
Dan bumi serasa berhenti berputar
Saya terpaku melihat dari kejauhan. Seumur hidup, baru kali ini saya merasakan saat-saat seperti ini. Momen itu sebenarnya hanya terjadi dalam 3 detik. Ya, hanya 3 detik. Tapi ... 3 detik itu yang selalu saya kenang sepanjang hidup.
Dan setelah pertemuan pertama kali di lapangan basket itu, hidup saya tak pernah lagi sama. Dalam hati, saya pernah berujar kepada-Nya,
Ya, Allah ...
Kok, yang ini perasaannya beda. Kok, kayak gini, ya, rasanya ... cemas ... senang ... galau ... semuanya menjadi satu.
Celakanya, wanita yang membuat jantung saya hampir berhenti itu harus saya lihat lagi, lagi, dan lagi setiap hari, karena kami berada dalam kelas yang sama.
* * *
Nia Agustini, nama gadis dengan senyuman terindah itu.
Dia menjadi “teman” sekelas saya. Mungkin lebih tepatnya “gebetan”. Jadilah hari-hari saya di kelas penuh dengan perasaan tak keruan. Campur aduk. Suatu saat bisa tenang, tapi di lain waktu bisa juga kayak orang kebingungan. Nah, kan? Mungkin waktu itu saya memang sudah terkena virus penyakit cinta Chu Pat Kay dalam cerita Sun Go Kong, bahwa cinta hanya akan menyajikan derita tiada akhir ... galau tak bertepi ... sepi tak henti-henti ....