Enam tahun kemudian.
Sinar bulat purnama malam ini tak mampu menerangi gelap dalam hati Nada. Hatinya sakit, terluka dan kecewa dengan keputusan yang diambil oleh Ibundanya. Bintang-bintang pun tak mampu menghiburnya. Nada menangis sesenggukan di dalam kamarnya. Ia duduk di bawah disamping ranjangnya. Memeluk boneka beruang dengan erat. Boneka beruang hadiah ulang tahun dari seseorang yang spesial di hatinya.
Tissue berserakan dimana-mana. Entah sudah berapa jam ia menangis. Rasanya ia sampai kesulitan untuk bernafas. Andai bisa, dia ingin berteriak dan mengubah semuanya tetapi itu hanya harapnya saja. Pada kenyataannya, yang terlanjur diputuskan tidak bisa diubah kembali. Sesuatu yang telah diucapkan tidak bisa ditarik kembali.
Pelan, pintu kamarnya terbuka. Sang Ibu masuk dan duduk disampingnya. Mata Sang Ibu juga sembab. Ini adalah keputusan tersulit yang harus beliau putuskan. Menikahkan putrinya yang masih belia. Namun, ini harus.
"Ibu sudah memikirkannya matang-matang, Nad," ujar beliau dengan pelan. Suaranya serak. Sebenarnya beliau juga tidak tega dengan ini.
"Aku masih sekolah, Bu," Nada menjawab dengan parau. Dia menyembunyikan wajahnya di punggung boneka beruang besar yang ia peluk. Dia takut saat membayangkan ia menikah dengan seseorang lalu teman-temannya mengetahui statusnya.
"Dia tidak keberatan dengan itu. Dia bahkan akan mengizinkanmu kuliah jika kau sudah lulus SMA nanti," ujar Sang Ibu.
"Kenapa malah dia yang Ibu pikirkan?" suara Nada tinggi. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Sang Ibu. "Kenapa Ibu tidak memikirkan bagaimana perasaanku, bagaimana masa remajaku, bagaimana aku akan menjalani hari-hari. Aku bahkan baru berulang tahun yang ke enam belas minggu lalu. Aku ingin seperti teman-teman ku. Bebas dimasa remajanya, bebas menentukan pilihan. Kenapa Ibu dengan tega mengambil masa emasku dengan keji. Apa aku adalah yang tidak berbakti hingga Ibu tidak ingin mengasuhku lagi lalu ibu membuangku pada seseorang yang Ibu pilih," Nada meluapkan semua emosinya. Dia berbicara dengan air mata yang rasanya tak ingin berhenti keluar dari matanya.
Sang Ibu menangis menatap putrinya, "Bukan seperti itu, Nak," jawab beliau. Rasanya sangat sakit saat Nada berucap jika ia membuangnya.
"Ibu menyayangimu, sangat menyayangi mu. Suatu saat nanti kau akan tahu kenapa Ibu melakukan ini, Nad," ucap beliau pelan. Sangat pelan, hingga hanya angin yang mampu mendengarnya.
****@****