Pernikahan Tanpa Cinta

NURJANNA
Chapter #1

Safa Marwah

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah." (Q.S. Adz-Dzaariyat: 49)

.

.

.

Apakah kamu percaya cinta?

Cahaya yang terang menyadarkanku pagi ini. Aku membuka mata dan menatap seluruh ruangan serba putih. Aku rasa ini adalah surga, namun sayang sekali aku masih berada di bumi. Tempat di mana aku membenci semua orang yang ada di hidupku.

Seorang perempuan berbaju serba putih menatapku. Aku lebih berharap bahwa ruangan ini adalah surga agar aku tidak bertemu dengan orang yang sangat aku benci.

"Kamu sudah sadar?" tanyanya.

Aku membuang muka, tidak ingin memandangi perempuan itu. Aku tahu, tempat ini adalah rumah sakit. Lebih tepatnya, saat aku mencoba mengakhiri hidupku, aku gagal lagi. Kebodohan yang sampai saat ini aku sesali.

"Kamu sudah sadar?" sahutnya. Kali ini intonasinya sedikit meninggi.

Aku tetap tidak menjawab. Hatiku benar-benar sakit, seluruh emosiku berusaha untuk tertahan di dada. Aku ingin marah, aku ingin memaki di tempat ini. Tapi siapa yang mendengarkanku? Tidak ada yang mendengarkan aku. Aku hanya orang bodoh yang berusaha di tuntut untuk selalu menjadi orang sempurna. Beban di pundakku semakin banyak, aku seakan ingin berteriak dan memaki Tuhan.

Perempuan berbaju putih itu mendekat. Dia mengeluarkan sebuah benda pipih panjang. Aku tahu, aku akan terlelap saat benda itu menyentuh bagian tubuhku. Lagi-lagi obat sialan yang selalu aku benci.

"Kamu harus tenang dulu, satu suntikan akan membuatmu membaik," ucapnya. Aku tidak bisa melawan saat bagian tubuhku terasa berbeda. Aku membenci hidupku, jika ada yang bisa mendengarkanku, mungkin saja aku akan berteriak dan mengatakan aku tidak ingin di bumi.

Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan. Dia berbaju merah dengan jilbab biru yang hampir senada. Lebih tepatnya bagian rok yang dikenakan sangat mirip dengan warna jilbabnya. Samar-samar dia mencoba tersenyum kepadaku.

"Aku menemukannya di pinggir jembatan, apakah dia terluka?" serunya. Perempuan paruh baya itu sedang berbicara kepada salah satu suster. Aku bisa mendengarkan obrolan mereka.

"Dia baik-baik saja, kami sudah memberikan obat penenang," jawab salah satu suster. Sial, aku menghardik di dalam hati. Bagaimana bisa aku dikatakan orang gila dan diberikan obat penenang? Aku membenci hal ini.

Lihat selengkapnya