"Dan jangan putus asa, jangan sedih. Kamu pasti akan menang jika kamu adalah orang-orang yang benar-benar beriman." QS Al Imran Ayat 139
.
.
.
Aku membenci banyak hal di kehidupan ini. Salah satunya yaitu aku membenci saat menyadari bahwa aku masih hidup sampai sekarang. Seharusnya tadi, aku memilih menjatuhkan diri di sebuah bangunan tinggi. Aku ingin terjun bebas dan tidak ada seorang pun yang menyalamatkanku. Nyatanya, nyaliku benar-benar menciut. Aku hanya berani berdiri di sebuah jembatan sepi. Tapi entah mengapa, aku akhirnya berakhir di ruangan serba putih dan bertemu seorang ibu yang seperti malaikat surga.
"Kau di sini saja!" ucap Nizam. Mataku menatapnya dengan tajam. Lelaki itu semenjak berada di dalam mobil, dia tidak pernah berbicara kepadaku. Nizam hanya memperhatikanku dari kejauhan. Ya, dia melihatku seperti perempuan gila yang tiba-tiba berada di dalam mobil.
"Safa, jika kamu tidak keberatan, kamu bisa bersama ibu beberapa minggu," ucap ibu Salih. Aku menatap perempuan paruh baya itu lalu tersenyum. Tapi tidak dengan Nizam, dia menghunuskan pandangan tajam. Penuh kebencian dan seakan ingin memakiku. Itu adalah apa yang aku lihat dari ekspresi lelaki tampan itu.
"Nizam adalah guru di salah satu pesantren, kamu bisa belajar banyak darinya," ucap ibu Salih. Aku menatap Nizam. Oh, pantas saja dia terlihat lebih rapi saat datang. Aku mengamati mimik wajah lelaki itu.
Sesampai di sebuah rumah, aku turun dari dalam mobil. Aku memandangi bangunan itu. Ibu Salih mengengam tanganku. Dia tahu aku sedikit ragu. Tapi entah mengapa dia begitu percaya kepadaku dan membawahku ke rumah ini.
Nizam sudah lebih dahulu berjalan. Dia mendahului kami. Aku tahu, dia sedang marah. Mungkin saja saat ibunya tidak berada di sisiku, dia akan membentakku.
Aku mengekor di belakang ibu Salih. Aku masuk ke rumah yang sederhana itu. Pandanganku fokus ke Nizam, lelaki itu duduk di sofa sambil terus menatapku.
"Ini rumah ibu?" tanyanya kemudian. Ibu Salih menganggukan kepala. Rumah yang sangat bagus. Bahkan rumah ini benar-benar nyaman. Aku yakin, aku bisa bertahan di rumah ini. Aku tidak ingin pulang ke rumah dulu, aku tidak ingin bertemu ayah dan menyeretku ke rumah sakit gila lagi. Sungguh, itu pengalaman yang sangat mengerikan.
Aku pernah berada di sebuah rumah sakit gila, aku duduk dan termenung sambil menangis dan entah dari mana, seorang perempuan menarik rambutnya secara tiba-tiba. Aku ketakutan dan dari saat itu, aku tidak ingin masuk ke rumah sakit gila lagi. Menyeramkan sekali, pikirku.
Nizam masih terus menatapku. Ekspresinya benar-benar tidak menyukaiku saat ini.
"Apakah rumahmu lebih bagus dari ini?" serunya. Aku menghela napas panjang. Bukan aku mengatakan rumahku lebih besar atau kecil, tapi aku sedang berbasa-basi saja.
"Ayo kita lihat kamarmu," ucap ibu Salih. Dia mengengam tanganku masuk ke dalam salah satu kamar. Ibu Salih duduk di sisi ranjang. Dia tersenyum saat aku menatap diriku di pantulan cermin. Ya, di dalam kamar itu, ada lemari besar yang dilengkapi cermin berukuran besar.
Wajahku sangat pucat, bekas hitam jelas telihat di bawah mata. Aku sungguh buruk hari ini. Ibu Salih beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri tepat di sampingku.
"Ibu punya beberapa baju. Jika kamu mau, ibu akan memberikanmu," ucapnya kemudian. Aku mengerutkan kening saat ibu Salih kemudian mengeluarkan bajunya. Dia memberikan beberapa baju lengan panjang.
"Kamu pasti cantik memakainya," sambungnya lagi. Ibu Salih memberiku satu gamis yang menurutku sangat cantik, namun aku tidak ingin memakai pakaian itu.