Aku duduk di depan pintu menunggu ibu Salih selesai merajut. Ya, perempuan itu sedang merajut satu baju berwarna biru muda. Sangat lucu. Tadi, saat aku bertanya kepada ibu Salih. Katanya, dia sedang merajut baju untuk cucunya kelak. Sepertinya ibu Salih sangat menginginkan seorang cucu.
"Assalamualaikum," ucap suara itu. Aku menatap Nizam sedang berdiri di depan gerbang. Lelaki itu sama sekali tidak pernah tersenyum menatapku.
"Nizam, bagaimana?"
"Sudah bicara dengan kyai Sham?" tanya ibu Salih kemudian. Perempuan paruh baya itu meletakkan bahan rajutannya. Nizam menghela napas panjang. Dia duduk di samping ibu Salih.
"Aku sudah mengatakan kepada kyai Sham mengenai niatku untuk melamar Ning Zahra, tapi Nizam belum tahu jawaban kyai Sham," jelas Nizam. Aku bisa mendengarkan percakapan mereka.
"Oh, jadi Nizam ingin melamar Ning Zahra?" gerutuku kemudian.
"Semoga yah nak, semoga niat baikmu selalu dipermudah Allah," ucap ibu Salih. Dia mengusap pipi Nizam. Ibu Salih sangat menyanyangi Nizam. Beruntung sekali lelaki itu memiliki ibu yang sangat menyanyanginya.
Aku menunduk kepala ke bawah. Tiba-tiba saja hatiku sesak. Aku merindukan ibuku saat ini. Aku sangat merindukannya. Tapi entah mengapa, Tuhan tidak pernah menakdirkanku melihat wajah ibuku sampai sekarang.
"Safa!" ucap Nizam. Aku spontan menongakan wajah saat Nizam memanggilku.
"Ning Zahra ingin menemuimu besok, bisa kan?" serunya kemudian. Aku menelan saliva. Tengorokanku tiba-tiba mengering. Entah mengapa Nizam tampak sangat menakutkan jika melihatku.
"Aku?" sahutku tidak percaya. Nizam menganggukan kepala.
"Tentu saja, kamu!" gerutu Nizam kesal.
"Ning Zahra ingin bertemu denganmu, pergilah ke ruangannya besok. Kamu sudah melihatnya kan?" sambung Nizam lagi.
"Iya, aku akan menemui Ning Zahra," ucapku kemudian.
Setelah berbicara dengan ibu Salih, aku kemudian masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, aku mencoba menutup mataku. Namun sampai sekarang, aku belum bisa tidur. Entah mengapa sampai sekarang mataku sangat susah terlelap.
Aku memikirkan kata-kata Nizam. Ning Zahra ingin menemuiku. Ada apa? Mengapa perempuan cantik itu ingin menemuiku? Ada yang ingin dia katakan? Sahutku dalam hati. Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan.
"Sepertinya ada yang ingin dia jelaskan kepadaku," ucapku lagi. Sekarang, aku seperti berdebat dengan isi kepalaku. Sungguh, sangat melelahkan berdebat dengan diri sendiri. Aku mencoba menutup mata. Aku benar-benar ingin terlelap tidur saat ini.
Tok ... Tok ...
Suara ketukan pintu itu mengagetkanku. Aku bergegas bangun dan melihat Nizam sedang menatapku di depan pintu. Lelaki itu tersenyum sejenak. Sangat aneh.
"Belum tidur?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala.
"Kamu sebenarnya dari mana asalnya? Mengapa bisa di rumah ini dan akrab dengan ibuku?" tanya Nizam kemudian. Aku menghela napas panjang. Bingung menjelaskan hal ini.
"Aku ingin bunuh diri di depan jembatan dan tiba-tiba saja ibumu menyelamatkanku," gerutuku kemudian. Nizam membulatkan matanya.
"Bunuh diri? Kau benar-benar gila yah?" serunya. Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan.
"Ya, aku benar-benar gila. Bahkan aku sudah mencoba bunuh diri untuk ke sembilan kalinya," ucapku lebih memperjelas. Terlihat lelaki itu memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Nizam benar-benar ketakutan melihatku.
"Oh yah, nanti kalo ke pesantren, bajunya di sesuaikan yah. Biasakan juga berjilbab di dalam rumah karena kita bukan mahram," jelasnya. Aku menganggukan kepala mengerti.