Pasha mendorong pintu kaca transparan itu dan masuk kedalam minimarket untuk membeli pembalut wanita seperti yang di sarankan dokter berkacamata tadi. Mendatangi salah satu karyawati yang duduk di meja kasir, tanpa sungkan Pasha berkata, "Saya butuh pembalut wanita"
Beberapa saat karyawati itu terperangah, sempat terpesona dengan pria tampan di depannya, "Ah, sebentar!"
Wanita itu pun keluar dari meja kasir dan menyuruh salah satu rekannya yang lain untuk berganti jaga. Sebelum wanita itu pergi mengambil barang yang diinginkan Pasha, wanita itu berbalik untuk bertanya, "Apa ada ukuran khusus? Sayap atau non-sayap?"
Tampak sepasang mata elang Pasha berkedip tiga kali tak mengerti, "Siapkan saja semuanya"
Karyawati itu mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Sepertinya itu adalah kali pertama pria tampan itu membeli benda seperti ini, "Baik"
Di rumah sakit, Hana baru saja menelpon kakak keduanya untuk segera datang ke rumah sakit membawakan pakaian ganti dan tak lupa dengan pembalut. Bagaimanapun ia tidak dapat pergi meninggalkan rumah sakit dengan kekacauan ini.
Meletakkan ponselnya di bawah bantal, Hana menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Syukurlah ia tidak ada jadwal matkul pagi atau kalau tidak harinya ini sungguh tidak tertolong lagi.
Pintu terbuka dan Pasha berjalan masuk kedalam. Hana terkejut melihat Pasha lagi-lagi muncul di depannya, 'Kenapa dia masih belum pergi sih?' Hana rasanya ingin menangis.
"Kenapa tidak bilang kalau menstruasi mu tembus?" Pasha berjalan mendatangi ranjang dan meletakkan sekantong plastik belanjaannya di atas pangkuan Hana.
"A'aa.." Hana tidak tau harus merespon seperti apa. Wajah putihnya lagi-lagi memerah panas menahan malu. Ingin rasanya Hana berteriak...
'Apakah harus se-lugas itu?'
"Cepat ganti!" Pasha menepuk plastik putih yang penuh dengan pembalut itu. Lalu berjalan pergi mendatangi meja.
Hana mengambil kantong besar plastik putih yang ada di pangkuannya. Ketika ia melihat isi didalamnya, terus mata Hana terbelalak kaget. Tak menyangka kantong besar itu dipenuhi dengan berbagai macam bungkusan pembalut, "Bapak yang beli semua ini?"
"Ya, dokter bilang kau butuh itu" Pasha kembali berjalan mendatangi ranjang Hana dan meletakkan sebotol air mineral serta bubur di meja samping ranjang, "Ini sarapan mu, jangan lupa dimakan!"
Hana kehilangan kata untuk berbicara. Sesaat ia melihat isi kantong plastik dan sekilas melirik ke meja samping ranjang yang sudah ada sebotol air mineral dan bubur.
"Saya pergi" Pamit Pasha, mengambil mantel hitam panjangnya yang ada di lengan sofa. Ia langsung melangkah pergi. Hanya tepat sebelum menarik pintu...
"Terimakasih"
Suara kecil Hana mengetuk Indra pendengarannya. Pasha terus menoleh sekilas kearah Hana dan berkata, "Itu kewajiban ku" Jadi lebih tepatnya, gadis itu tidak perlu berterimakasih. Sebagai pemilik barang, sudah sewajarnya ia merawat dan mengurus barang itu dengan baik.
Setelah Pasha pergi meninggalkan bangsal, Hana merasakan kepalanya seakan mau pecah, "Kewajiban katanya?"
—••—
"Jadi sekantong besar ini semua si pangeran malam itu yang beli?" Sepanjang jalan keluar dari rumah sakit, Keira tidak henti-hentinya tertawa mendengar kisah memalukan Hana yang sungguh tragis.
Membuka pintu mobil, Hana duduk di samping bangku pengemudi. Mendapati kakak keduanya yang tidak berhenti tertawa, Hana hanya diam saja dan pergi memasang seatbelt. Setelahnya ia menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, menghela nafas lirih.
Keira duduk di bangku pengemudi, langsung memasang seatbelt. Memegang setir, sekilas ia melirik adiknya yang tampak tak berdaya menatap keluar jendela. Terus kedua pipinya menggembung menahan tawa, mengingat cerita adiknya tadi, "Tapi kok bisa ya dia ngiranya kamu ambeien?"
"Entah lah kak" Jawab Hana lemas.
Keira sebenarnya sangat ingin tertawa, karena cerita yang dialami adiknya itu benar-benar mengocok perutnya sampai sakit. Tapi di sisi lain ia merasa kasihan, adiknya yang mengalami semua itu juga demi membantu dirinya.
Menyalakan mesin, mobil pun mulai berjalan pergi meninggalkan rumah sakit. Keira langsung membawa Hana ke kampus, karena tepat pukul sepuluh pagi adiknya itu ada jadwal matkul yang harus ia masuki.
"Tapi, kenapa dia mau repot-repot ngelakuin semua itu ya?" Keira menghentikan mobilnya, tepat setelah mereka berada di depan gedung fakultas Hana.
"Maksud kakak?" Hana melepas seatbelt nya.
"Setau kakak dia itu bos besar toxic yang gak punya sedikitpun rasa empati dan apa lagi simpati" Tukas Keira, "Tapi kok bisa dia ngelakuin sejauh itu untuk kamu Han? Gak mungkin karena dia peduli kan? Secara kalian berdua baru ketemu semalam"
Memikirkan penuturan kakak keduanya itu, Hana hanya berkedik bahu tak tau. Akan tetapi ia kembali teringat dengan pertemuan semalam, "Kak, dia tau kalau aku bukan kakak"