Hana terdiam. Jelas ia mengenal kakak lelakinya Chaca yang baru saja mendapatkan gelar dokter muda itu. Pria berkulit putih yang memiliki senyum meneduhkan. Pribadi yang tidak banyak omong, tapi perhatian. Perawakannya sopan dan lembut. Sosok yang relijius dan jauh dari kata arogan. Tak lupa dengan aura medisnya yang telah menarik perhatian banyak wanita.
Tanpa sepengetahuan kedua sahabatnya itu. Kakak lelakinya Chaca...
Adalah cinta pertamanya Hana.
"Ah, udah ah!" Hana langsung menyeruput jus alpukat nya yang tanpa gula itu dan melanjutkan, "Kita fokus belajar aja dulu ya!"
"Bener!" Seru Miftah dan Chaca serempak.
"Pokoknya, kalo kamu di jodohin bilang sama aku" Chaca baru saja mengambil sesuap siomay kedalam mulutnya, terus kembali berbicara, "Biar aku paksa kakak aku buat datang ke rumah"
"Untuk?" Hana menautkan sepasang alisnya.
"Ya untuk lamar kamu lah!"
Serentak Miftah dan Hana bertukar pandang, sama-sama terperangah!
—••—
"Apa? Jadi semalam itu yang datang kandidat ketiga, bukannya yang kedua?"
Pasha memijit pelipisnya, merasa pusing. Karena hari ini ia terlambat datang ke perusahaan, begitu banyak jadwalnya yang berantakan. Di tambah lagi ayahnya datang ke keruangan nya dan membahas mengenai pertemuan semalam. Dengan sangat terpaksa Pasha menunda jadwal rapatnya, yang harusnya sudah dimulai lima menit yang lalu.
"Em" Jawab Pasha malas, pergi menyandarkan punggungnya ke kepala kursi.
"Bagaimana bisa begitu? Harusnya semalam itu yang datang kandidat kedua" Tukas Shahbaz yang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Karena putranya itu sekali di ajak berbicara, balasannya kalau tidak dua patah kata, ya 'em' seperti tadi.
"Entah" Pasha berkedik bahu, ekspresi wajahnya acuh tak acuh.
"Kenapa kamu baru kasih tau papa sekarang sih? Aturannya semalam kamu bil—"
"Papa kan gak nanya!" Pasha mengambil sembarang dokumen yang ada di meja dan membukanya.
"Pasha!" Gerutu Shahbaz kesal.
"Pas! Sepuluh menit" Pasha langsung mengangkat jam pasirnya yang ada di meja dan menunjukkannya pada Shahbaz.
"Pasha, papa masih belum sele—"
"Aku harus meeting pa, nanti aja di lanjutin" Pasha berdiri dan segera memasukkan jam pasir kecil itu kedalam saku jasnya.
"Pasha, papa masih perlu bicara sama ka—"
Pintu ruangan sudah di tutup dan Shahbaz tinggal seorang diri di sana, "Hah, anak itu benar-benar"
Shahbaz mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi Arya. Bagaimanapun ia membutuhkan penjelasan mengenai pertemuan semalam. Itu adalah pernikahan besar antara dua keluarga konglomerat. Tapi kedua putrinya dengan berani bermain-main...
"Assalamu'alaikum Pak Arya, bisa kita berjumpa siang ini?"
Tepat di malam harinya di meja makan. Arya menatap kedua putrinya dengan tatapan tajam. Hana dan Keira yang menyadari tatapan ayahnya itu terus makan dengan gugup. Sesekali keduanya bertukar pandang, bertanya-tanya di balik tatapan satu sama lain.
'Apa papa mereka sudah mengetahui mengenai pertemuan semalam?'
Dalam suasana tegang itu, Ratna yang lagi-lagi pulang lembur. Bergabung dengan makan malam terlambat seperti biasa.
"Kali ini ada apa lagi?" Ratna duduk dan langsung menyadari suasana di meja makan yang tegang.
"Hana, jujur sama papa.."
Deg!
Hana yang baru saja hendak memasukkan sesendok nasi kedalam mulutnya terus tertahan. Takut-takut ia melirik kearah ayahnya yang menatapnya serius, "A-apa pa?"
"Semalam kamu beneran nginep di rumah temen kamu karena buat tugas?"
Keira meletakkan sendok di tangannya ke piring. Mengambil segelas air putih, ia meminumnya seteguk. Dalam hati ia berkata tak berdaya, 'mereka sudah ketahuan!'
"A-aa..I-itu.."
"Kamu bohong kan?"
Hana terdiam. Benar kan? Dia bukan pembohong ulung. Menurunkan tatapannya ke piring, dengan tidak berdaya Hana mengakuinya, "M-maaf pa.."
"Ini salah aku Pa" Keira meletakkan gelas yang baru saja di minumnya ke meja. Suaranya yang lantang itu menggema di ruang makan yang hening.