Hana menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Menenggelamkan wajahnya di atas bantal, kedua tangannya berkali-kali memukul ranjang yang empuk itu dengan perasaan frustasi. Setelah beberapa menit melampiaskan kekesalannya dengan cara itu, Hana bangkit dan membaringkan tubuhnya keatas selimut yang lembut, "Ya Allah, aku harus gimana..."
Pasha yang bersikeras meminta pertanggungjawabannya itu, menolak keras negosiasi ayahnya dalam opsi apapun. Pria arogan dan benar-benar dingin seperti julukannya 'pangeran malam' itu, tetap kekeuh untuk menjadikannya calon istri.
Ayahnya yang selalu mempertimbangkan hal dengan meraih keduanya tanpa merugikan apapun, dengan tak berdaya berkata pada Hana, tepat setelah Pasha pergi meninggalkan kediaman.
"Papa tidak pernah ingin membuat mu menikah dengannya. Tapi karena tindakan sembrono mu malam itu, inilah hasilnya"
Hana dengan sangat menyesal berkata, "Maaf Pa, Hana menyesal. Hana pasti akan bertanggungjawab akan hal ini tanpa membuat papa dirugikan"
"Bagaimana kau akan bertanggungjawab? Menikah dengannya?" Meski berkata begitu, nada suara ayahnya yang terdengar marah bercampur cemas. Membuat Hana yakin, kalau ayahnya itu jelas tidak setuju dirinya menikah dengan Pasha.
"Engga pa" Hana dengan cepat menggeleng, "Hana pasti akan memikirkan cara untuk menyelesaikan apa yang sudah Hana mulai"
Dan sekarang, Hana sungguh frustasi memikirkan seperti apa caranya menghadapi pria picik seperti Pasha. Pria dingin itu jelas seperti rubah. Ia yang hanya seperti seekor kelinci kecil apakah bisa menghadapinya?
"Ya Allah, bantu hamba untuk segera mendapatkan cara terbaik dalam menyelesaikan kekacauan ini..."
—••—
Pagi harinya, Hana sudah pergi berkutat di dapur untuk menyiapkan sup pereda pengar untuk kakak keduanya yang sepertinya masih terbaring di atas ranjang. Hana hari ini masuk sekitar pukul sembilan lewat, jadi ia tidak begitu terburu-buru pergi ke kampus.
Keira merentangkan kedua tangannya, melepas rasa kantuk dan perlahan bangkit dari baringan. Duduk bersandar di kepala ranjang, Keira memukul pelan kepalanya yang terasa pusing, "Ah, kenapa kepala ku berat sekali?"
Keira pun kembali teringat dengan apa yang diperbuatnya semalam. Ia menghabiskan begitu banyak botol alkohol di bar dan meronta-ronta dari Hana yang mencoba membawanya pulang ke rumah. Setelahnya, Keira tidak ingat apa-apa lagi.
Keira masih setengah mengantuk itu, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Melihat kamar yang luas dan di dominasi dengan barang-barang bewarna pink menggemaskan, "Ia pasti berjuang keras membawaku pulang ke rumah semalam.." Keira mendesah pelan.
Menarik selimut, Keira melangkah turun dari ranjang. Pergi ke kamar mandi, Keira menggosok gigi dan bersih-bersih seadanya. Pergi ke bawah dan menuju dapur, samar-samar hidungnya mencium aroma sup.
"Kakak sudah bangun?" Hana tersenyum manis pada Keira. Melepaskan ikatan celemek dari belakang pinggangnya, Hana segera menanggalkan benda itu dari tubuhnya. Mengambil dua sarung tangan tebal, Hana dengan hati-hati memindahkan panci berisi sup panas itu ke atas meja.
"Hana buatin sup pengar untuk kakak" Hana pergi mengambil mangkuk dan mengisinya dengan sup yang baru saja dibuatnya.
Keira menarik kursi dan duduk. Matanya terus memperhatikan Hana yang terus menuangkan beberapa sendok sup ke mangkuk.
"Di makan yaa.." Hana meletakkan mangkuk itu tepat di depan Keira.
"Kakak mau ku buatkan air madu atau susu vanilla hangat?"
Keira mengangkat kepalanya kearah Hana, "Air madu saja"
"Oke" Hana beranjak ke dapur, mengambil cangkir dan madu. Ia bergegas menyiapkan air madu hangat untuk Keira.
"Maaf, kau pasti sangat kerepotan membawa ku pulang semalam" Tutur Keira, melihat Hana yang sudah kembali ke ruang makan membawa secangkir air madu untuknya.
Memiliki adik yang baik hati dan pengertian seperti Hana, sekalipun ia merasa cemburu, tapi Keira tak dapat membenci adik kesayangannya itu.
Hana menghela nafas pelan, menarik kursi dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Keira, "Lain kali kakak jangan seperti semalam. Bahaya tau kak" Tukas Hana lembut, melipat kedua tangannya di atas meja ia melanjutkan, "Apalagi kakak ini anak gadis yang masih belum menikah. Keluyuran dan mabuk-mabukan di luar. Aku yakin pacar kakak yang pilot itu juga pasti tidak suka kakak berperilaku begitu"
"Em" Keira hanya berdeham pelan, mengangguk. Tidak seperti sebelumnya, Hana menceramahi nya panjang lebar mengenai perilaku mabuk-mabukan dan alkohol itu haram hukumnya nyaris seperti seorang ustadzah.
Tapi kali ini, Hana hanya berkata beberapa patah kalimat menasehati sewajarnya.
"Kamu semalam gimana?" Keira menyeruput pelan sesendok sup yang cukup lezat itu. Lalu ia melirik sekilas kearah Hana, "Pasti di kena marah sama papa kan karena tau kamu pergi ke bar buat jemput aku?"
Hana terdiam.
"Aku benar ya?" Jika Hana diam itu pertanda apa yang dikatakannya benar adanya. Keira tertawa kecil dan kembali fokus menikmati sup pengar buatan adiknya itu.
Hana hanya diam, tidak ingin merespon apa-apa. Mengambil selembar roti dan mengoleskannya dengan selai strawberry. Pelan Hana mengucapkan bismillah dan mulai memakannya.
"Lain kali tidak perlu datang membawaku pulang" Keira mengambil segelas air madu dan menyesapnya sedikit. Setelahnya ia meletakkan gelas itu ke meja dan meneruskan, "Aku tidak mau membuat papa marah jika terjadi apa-apa pada putri emasnya"
Jelas 'putri emas' yang dimaksud Keira itu adalah Hana.
Mendapati sikap Keira yang dingin dan tidak hangat seperti biasanya, membuat Hati Hana kalut dalam kesedihan, "Kak..Hana minta maaf"
"Tidak perlu minta maaf" Keira mengulas senyum tipis, "Itu bukan salah mu menjadi putri kesayangan papa..."
"Bisa tidak kak Kei jangan bersikap dingin begini padaku.." Keira yang biasanya selalu bersikap menyenangkan, tipikal kakak yang banyak omong dan hangat. Tapi saat ini, Hana merasa kakak keduanya itu seperti sudah menggambar garis pembatas di antara mereka.
"Datang bulan mu masih belum habis ya?" Keira bertanya acuh tak acuh.
"..." Semakin itu membuat hati lembut Hana tersayat dan nyeri.