Mata elang Pasha berkedip terkejut mendapati Hana yang sudah menangis terisak-isak dengan tubuh berguncang pelan. Tidak perlu bertanya lebih jauh, Pasha cukup sadar diri kalau itu tidak lain karena dirinya. Hal yang telah dilakukannya itu pasti sangat mengejutkan 'permata nya' sampai menangis sedemikian rupa.
Bukannya pergi meminta maaf, tapi Pasha menginterogasi Hana, "Apa pria itu melakukan sesuatu padamu? Apa dia mengancam mu? Apa ada bagian dari tubuh mu yang dilukainya?"
Mata basah Hana sekilas melirik ke wajah tampan Pasha yang kaku dan dingin, tapi sorot mata elangnya yang tajam itu jelas menyuguhkan tatapan khawatir.
Melihat Hana yang tidak kunjung berbicara, Pasha yang tidak suka membuang waktu itu terus mengeluarkan ponselnya. Terdengar suara bariton Pasha berbicara penuh penekanan melalui saluran, "Segera datang kemari"
Hana awalnya tidak mengerti Pasha sedang menghubungi siapa sampai mengharuskan seseorang itu untuk segera datang ke kediamannya. Hingga ketika seorang pria berjaket hitam, menginjakkan kaki ke ruang tamu. Hana menoleh dan melihat pria itu melepaskan helm di kepalanya.
Sekali pandang saja, Hana dapat menebak itu adalah pria yang mengambil ponselnya tadi.
"Cepat minta maaf pada calon istriku" Terdengar suara dingin Pasha yang mencekam. Berhasil membuat tubuh pria itu bergetar hebat dan segera bersimpuh di hadapan Hana. Memukulkan kepalanya ke lantai, pria itu dengan histeris memohon, "Maafkan saya nona. Saya tidak berniat menakuti anda"
Tangis Hana terus terhenti, mata sembabnya terbelalak kaget melihat tindakan pria berjaket hitam itu padanya. Hana menoleh kearah Pasha menatap masam, 'Itu adalah kesalahanmu, bagaimana bisa kau menyuruh orang lain untuk meminta maaf!' Ingin sekali Hana mengatakan itu secara lugas, tapi berakhir hanya dalam hati.
"Tolong maafkan saya nona. Saya sungguh sama sekali tidak bermaksud.." Pria itu kembali memukulkan kepalanya ke lantai. Membuat Hana terkejut dan segera berkata, "Sudah cukup!" Hana jelas melihat jidat pria itu sudah membiru.
Tapi pria itu masih tidak berhenti dan terus memukul kepalanya ke lantai, "Tolong maafkan saya nona.."
"Iya-iya kamu sudah saya maafkan" Hana sekilas menatap Pasha dengan perasaan tertekan. Sebenarnya apa yang dilakukan Pasha sampai bawahannya takut ketar-ketir begitu?
"Terimakasih nona" Pria Itu mengangkat kepalanya, tersenyum penuh terimakasih pada Hana. Tampak jidatnya yang sudah lebam keunguan.
"Pergi!" Titah Pasha dingin.
Tanpa kata, pria itu buru-buru bangkit dan segera pergi meninggalkan ruang tamu. Hana yang melihat itu, seketika teringat dengan rumor yang dibicarakan kakak keduanya tempo hari di meja makan. Malam di mana Keira menentang keras menikahi Pasha yang dikenal dengan julukan 'pangeran dingin', itu kerapkali disebut sebagai tipikal bos yang toxic.
Dari apa yang dilihatnya tadi, Hana yakin rumor itu sepertinya benar.
Pasha memperhatikan tatapan Hana terhadap dirinya. Itu seperti tatapan kelinci putih yang ketakutan setelah bertemu serigala buas, 'Apa dia takut padaku?'
"Aku sudah menyimpan kontak ku di ponselmu. Jangan berpikir untuk menghapus"
Mata Hana bergetar pelan saat menerima tatapan tajam Pasha yang menatapnya penuh penekanan. Seakan pria itu mencoba menegaskan, jika ia berani tidak patuh, yang terjadi akan lebih dari— pembegalan ponsel.
Setelah mengatakan itu, Pasha pun pergi meninggalkan kediaman Hana. Cepat Hana keluar dan berlari mendatangi security, "Kenapa orang tadi itu bisa masuk?"
"Loh, bukannya itu calon suaminya nona Hana?"
"..." Hana terdiam, merasa dadanya memberat.
"Saya ingat pria itu yang mengantarkan nona Hana dan nona Keira pulang semalam. Dan tadi dia juga memberitahu saya kalau nona itu calon istrinya"
Mendengar itu Hana mendesah berat, "Lain kali jika orang itu datang lagi—" Hana ingin berkata, 'jangan beri masuk'. Tapi hatinya yang terlalu lembut itu, membuat Hana tak sampai hati untuk mengatakannya.
"Iya non, saya harus apa jika orang itu datang lagi?"
Hana menghela nafas tak berdaya memutuskan, "Tolong beritahu saya"
"Baik non"
Hana dengan langkah berat, kembali masuk kedalam rumah besarnya yang sunyi. Pergi menghempaskan punggungnya ke kepala sofa, Hana mengambil ponselnya. Hana melihat sebuah nomor baru sudah terdaftar dalam kontaknya dengan nama yang cukup membuatnya tercengang.
'Suamiku'
"Apa ini? Aku bahkan belum menikah dengannya, tapi beraninya dia—" Hana segera merubah nama kontak itu menjadi 'paman'. Sebenarnya ia bisa saja menggantinya dengan sebutan yang bersifat umpatan, tapi Hana yang tidak terbiasa dengan itu memutuskan untuk bersikap sopan.
"Aku terlalu malas mengetikkan namanya, jadi begini saja cukup"
—••—
Malam harinya, Hana memutuskan untuk membuat janji temu dengan Pasha di salah sebuah cafe. Mengingat perkataan Pasha yang besok malam akan segera datang untuk melamarnya, Hana tentu saja menjadi cemas dan gelisah. Hana yakin Pasha tidak pernah main-main dengan perkataannya.
Kejadian yang baru saja Hana alami hari ini cukup menjadi buktinya.
Karena itu Hana berniat bertemu Pasha dan membicarakan dengan tegas kalau ia tidak mau menikah dengannya.
"Jadi saya mohon, tolong hormati keputusan saya" Hana melipat kedua tangannya di atas meja, menatap mata Pasha penuh pengharapan. Hana sangat berharap Pasha mau mengerti, "Anda tidak bisa memaksakan pernikahan seperti ini. Itu tidak akan berakhir baik untuk kita berdua"
"Katakan itu pada kedua orangtua kita" Pasha mengangkat secangkir kopi hitam yang pekat dan menyesapnya sedikit. Lalu meletakkan cangkir dan menatap tak acuh pada Hana, "Disini merekalah yang memaksa. Bukan saya"
Hana terdiam.