Hari yang tak pernah Hana tunggu pun tiba. Hari dimana Hana akan melihat hasil dari persyaratan yang ia ajukan pada Pasha. Jika ketiga persyaratan itu terpenuhi, Hana harus rela menerima lamaran Pasha dan bersiap menjadi istrinya. Tapi jika salah satunya gugur, itu adalah kebahagiaan yang tak tergambarkan untuknya.
Hanya Hana terlalu takut menerima kenyataan. Bagaimana jika itu adalah kemungkinan pertama?
"Kalian berdua datang ke rumah ku yuk! Ummi aku hari ini masak banyak untuk makan siang. Sengaja katanya buat undang kalian makan bareng di rumah" Tukas Miftah sambil membereskan buku-bukunya kedalam tas.
Kelas mata kuliah yang terakhir untuk hari itu baru saja usai.
"Aaa..mau banget" Seru Chaca penuh antusias, "Terakhir kali makan siang di rumah kamu Mif, aku paling gak bisa lupain terasi buatan ummi kamu. Asli pedas banget dan bikin nagih" Chaca dan Hana memang sering makan siang di rumah Miftah.
Hana yang memiliki keluarga sibuk dan Chaca yang ibunya kerapkali tidak sempat memasak, itu membuat Miftah sering mengajak kedua sahabatnya itu makan siang bersama di rumahnya.
Hana yang sejak tadi termenung, tidak menyimak sedikitpun pembicaraan kedua temannya itu. Hal itu berhasil disadari oleh Miftah dan Chaca yang saling bertukar pandang seakan berbicara dengan tatapan satu sama lain, 'Hana kenapa kok diam aja ya?'
Sebagai balasan keduanya saling berkedik bahu, tak tau.
"Han, kamu mau kan?"
Pertanyaan itu mengejutkan Hana dari lamunan, "Y-ya?"
"Kamu baik-baik aja kan Han?" Selidik Chaca curiga. Tidak biasanya melihat Hana termenung diam seperti itu.
"Kamu enggak lagi ada masalah apa-apa kan Han?" Sambung Miftah, menautkan sepasang alisnya cemas. Meskipun Hana kerapkali berbagi dengan mereka, tapi terkadang temannya yang cantik itu bisa begitu tertutup akan sesuatu.
"Enggak kok, enggak ada apa-apa" Refleks Hana menggelengkan kepalanya tersenyum, "Aku baik-baik aja cuma ya itu lagi mikirin sesuatu aja"
"Sesuatu?" Sepasang mata Chaca menyipit menatap Hana.
"Ya itu— pokoknya bukan apa-apa kok" Hana memasang senyum lebar, menatap kedua sahabatnya menyakinkan.
Miftah dan Chaca saling bertukar pandang, keduanya yakin Hana berbohong. Keduanya merasa seperti ada sesuatu yang sedang Hana tutupi dari mereka. Tapi keduanya memutuskan untuk tidak mempersoalkan itu lebih jauh. Bagaimanapun tidak baik mendesak Hana untuk itu. Mereka yakin, akan ada waktu dimana Hana akan menceritakannya pada mereka.
"Pokoknya kalau ada apa-apa cerita aja ya ke kita" Ujar Miftah, tersenyum tulus.
"Em" Hana menganggukkan kepalanya mantap.
"Jadi kamu mau ikut gak Han makan siang di rumah aku?" Miftah menyampirkan tas samping di bahu kanannya dan berdiri.
"Ah maaf banget aku gak bisa" Hana mengambil tote bag nya dan berdiri, "Aku udah ada janji sama seseorang"
Lagi, Miftah dan Chaca saling bertukar pandang. Seseorang?
Itu adalah kali pertama Hana menggunakan kata 'seseorang' untuk merujuk pada sesuatu. Biasannya Hana selalu berterus terang menyebutkan siapa orangnya ketimbang menggunakan kata 'seseorang'. Seperti kakak keduanya, Keira. Tapi ini...
Hana yang saat itu pikirannya cukup semrawut, dengan terburu-buru pergi meninggalkan ruang, "Aku duluan ya" Mengacuhkan kedua sahabatnya yang termangu diam di tempat menatap kepergiannya.
Di luar gedung kampus, Hana segera mendatangi tempat parkir. Masuk kedalam mobil Porsche merah kesayangan, Hana bergegas menyalakan mesin dan pergi meninggalkan lingkungan kampus.
Ting!
Sebuah notifikasi muncul di ponselnya yang ada di atas dasbor mobil. Tepat saat di lampu merah, Hana menghentikan mobilnya dan memeriksa pesan yang baru saja masuk. Yang tak lain itu dari...
[ Sepuluh menit lagi kita ketemuan di restauran diamond keluargamu]
Hana mendesah berat dan langsung mengetikkan balasan.
[ Saya mau shalat dulu pak, maaf jika nanti saya mungkin datangnya agak telat]
Tak selang beberapa lama, Hana langsung menerima pesan balasan dari Pasha.
[Tiga puluh menit, cukup?]
Lagi, Hana menghela nafas, "Sepertinya kak Kei benar pak Pasha ini sangat memprioritaskan waktu"
[Cukup]
Lampu lalu lintas kembali berubah jadi hijau. Hana terus meletakkan ponselnya di atas dasbor dan kembali mengemudi. Tepat di salah satu mesjid yang ada di tepi jalan, Hana terus membawa mobilnya masuk ke pekarangan mesjid yang luas itu.
Di dalam sana Hana menunaikan shalat zhuhur dan setelahnya berdoa kepada Allah. Hana sungguh merasa persoalan yang dihadapinya saat ini cukup berat dan sangat membebani hatinya.
Tepat tiga puluh menit sesuai yang dijanjikan, Hana sudah berada di restoran Diamond keluarganya. Hana langsung mendatangi salah satu ruang privasi yang sengaja mereka reservasi sebelumnya untuk membahas ketiga persyaratan.
"Makan dulu atau bahas persya—"
"Makan, saya lapar" Buru Hana, kedua tangannya yang berada di bawah meja saling meremas karena cemas.
"Oke" Pasha mengangguk dan membunyikan bel yang ada di meja.
Salah seorang pelayan pun masuk dan siap mencatat pesanan. Hana yang benar-benar gugup, menyebutkan banyak sekali jenis makanan bahkan sampai tiga jenis minuman. Sedang Pasha hanya memesan seporsi steak dan segelas jus sayuran.