"Hana"
Keira berkali-kali menepuk pipi Hana, mencoba membangunkan Hana yang tertidur di atas sajadah.
"Hana"
Mendapati Hana yang tidak kunjung bangun, Keira pun mengguncangkan tubuh kecil itu. Tapi Hana masih saja tidak terjaga dari tidurnya.
"Hanaa"
Keira terus merasa cemas. Tidak biasanya Hana sulit dibangunkan. Mendapati kedua mata Hana yang terpejam itu meneteskan setitik air mata, sepasang mata Keira seketika membulat kaget, "Han, kamu kenapa?"
"Hana.."
"Hana.."
"Hanaa"
Panggilan keras Keira akhirnya menyentak Hana dari mimpi buruk. Sepasang mata Hana terbuntang lebar, itu basah beruraian air mata. Dadanya naik turun seiring nafasnya yang mengalir tak stabil. Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mendapati itu sebuah kamar yang luas dengan sentuhan dekorasi dewasa. Dinding bewarna hijau alpukat lembut yang beradu indah dengan perabotan hitam putih.
'Ini adalah kamar ku'
Wajah cantik Hana pucat, masih shock dan takut.
"Astaghfirullah.." Hana meraup wajahnya dan terus menangis tersedu-sedu.
"Kamu kenapa Han? Mimpi buruk?"
Hana mengangguk dengan tangis terisak-isak.
"Ya Allah, seburuk apa sih mimpinya sampai kamu nangis gini.." Lembut Keira mendekap Hana, menepuk pelan punggung Hana yang sudah basah dengan keringat dingin.
Hana hanya menangis, tidak mengatakan sepatah katapun. Dalam hati Hana mengucapkan hamdalah berkali-kali, merasa sangat bersyukur bahwa apa yang terjadi hanyalah mimpi buruk semata.
"Kita pindah ke ranjang ya?"
Hana mengangguk pelan, sambil mengusap sudut matanya dan perlahan berhenti menangis.
Keira membantu Hana berjalan duduk ke atas ranjang. Keira mengusap kening Hana yang sudah basah dengan peluh keringat mendapati itu terasa panas, "Han, kamu demam"
Hana terkejut, terus meraba keningnya. Hana tidak merasakan apapun selain itu sedikit hangat. Di samping sekujur tubuhnya yang lemas dan kepalanya yang terasa berat.
"Kakak telfon dokter ya" Keira mengeluarkan ponsel, bersiap menelfon dokter keluarga.
"Jangan Kak" Dengan cepat Hana mencegah, "Ini cuma hangat biasa, nanti juga—"
"Hangat biasa gimana? Itu kamu udah demam Han"
"Ya udah Hana istirahat aja, gak perlu panggil dokter. Ya?"
"Kamu yakin?"
"Em"
"Obat?"
Hana menggeleng, "Aku selimutan aja kak, ngeluarin keringat, macam biasa" Itu yang selalu Hana lakukan ketika demam.
"Ya udah, kalau gitu kamu istirahat ya, gak perlu ke kampus. Biar kakak yang ngurus surat izinnya" Lembut Keira mengusap kepala Hana.
"Em" Hana tersenyum pelan, mengangguk.
"Kamu tunggu di sini, biar kakak ambilin sarapan"
Hana mengangguk dan Keira terus beranjak pergi meninggalkan kamar. Mungkin itulah kenapa Hana merasa lebih dekat dengan Keira di banding Ratna. Keira senantiasa selalu ada untuk Hana, baik ketika ada masalah ataupun sakit.
Sedang kakak pertamanya Ratna, Hana sudah cukup maklum. Ratna yang workaholic dengan segudang kesibukan dan aktivitas yang padat, bahkan menyisihkan waktu untuk makan malam keluarga saja kerapkali terlambat.
Tapi walau bagaimanapun, Hana tetap menyayangi keduanya.
Keira kembali dengan senampan susu hangat dan dua roti berlapis selai strawberry kesukaan Hana. Keira pergi meletakkannya di atas meja samping ranjang.
"Jangan lupa dimakan ya"
"Em" Hana mengangguk lemah, tersenyum.
"Kakak pergi dulu, kalau ada apa-apa telfon ya"
"Oke"
—•••—
Siang harinya Hana merasa baikan, setelah mengeluarkan banyak keringat karena membungkus tubuhnya seperti kepompong. Walau badannya masih terasa lemas, tapi Hana cukup mampu untuk shalat berdiri di atas sajadah.
Seusai shalat zhuhur, terdengar tiga notifikasi muncul di layar ponselnya secara beruntun. Hana duduk di atas ranjang dan melihat tiga pesan tertera di layar. Itu dari Miftah, Chaca dan Paman...
"Paman?" Hana memutar keras otaknya mencoba mengingat sesuatu, "Ah, iya. Pak Pasha.." Hana nyaris saja terlupa kalau ia menyematkan nama panggilan itu untuk Pasha di kontaknya.
Hana mengambil ponselnya dan membalas dua pesan dari Miftah dan Chaca. Keduanya berkata akan segera datang ke rumah untuk menjenguk. Hana mengetikkan kata 'oke' sebagai balasan.
Lalu Hana pergi memeriksa pesan dari Pasha. Terus saja Hana kembali teringat dengan mimpi buruknya, cepat-cepat Hana menggeleng menepis ingatan itu jauh-jauh dari kepalanya.
[Dalam rangka ta'aruf, kita akan makan siang bersama di restoran Diamond keluargamu tepat jam satu siang]
Hana mendesah berat. Jelas itu bukan kalimat ajakan sama sekali. Melainkan seperti 'Kita akan ada meeting siang ini di restoran..xxx tepat jam..xxx'
"Huft, aku ini karyawannya atau calon istrinya sih?"
Hana segera mengetikkan balasan,
[Maaf pak, hari ini saya kurang fit dan tidak punya cukup tenaga untuk keluar]
Tidak butuh lama hingga sebuah balasan muncul,
[Saya akan datang ke rumah]