Sepanjang mata kuliah berlangsung, Hana habiskan dengan termenung dan melamun. Kata-kata Pasha semalam itu bergentayangan bagai hantu di kepalanya. Alhasil ketika kelas sudah berakhir, Miftah dan Chaca datang mengagetkan Hana.
"Hana"
"..." Hana bergeming, menatap lurus kearah orang-orang yang satu-persatu mulai pergi meninggalkan pintu ruangan.
"Han!" Miftah pergi menepuk pelan pundak Hana.
"..." Hana masih mematung, seakan tak sadar kelas sudah berakhir.
"Hanaa!" Panggilan keras Chaca akhirnya menyentak Hana dari lamunan.
"Y-ya?"
"Kamu kenapa sih Han? Engga kaya biasanya. Masih sakit ya?" Chaca meletakkan punggung tangannya di dahi Hana, "Suhu badan kamu stabil Alhamdulillah" Chaca menarik punggung tangannya dari dahi Hana, "Tapi kenapa kamu diem gitu? Lagi mikirin sesuatu?"
Hana mengangguk lemah, "Em"
"Pasti tentang pak Pasha ya?" Tebak Miftah.
"Em" Hana mengangguk membenarkan.
"Tuh kan, masih tunangan aja kamu udah gini Han, udah gak bisa fokus sama pembelajaran. Apa lagi kalau kamu nikah nanti huh?" Tidak tau kenapa bawaannya Chaca selalu kesal mengingat Hana sudah bertunangan, "Gimana nasib studi S1 kamu yang udah tinggal beberapa langkah lagi Han? Gimana sama mimpi kamu yang katanya mau lanjut S2 di Kairo? Aku yakin beratus-ratus persen yang si bos arogan itu pasti akan menjadi penghambat terbesar kamu untuk mencapai keduanya..huh!"
Miftah hanya menghela nafas mendengar bebelan Chaca pada Hana. Di samping itu ia menatap kasian pada Hana. Semenjak berkelit takdir dengan Pasha, Hana selalu saja bergelut dalam kemurungan.
"Minggu depan..." Kata-kata Chaca terbiar sepi dan Hana bergumam dengan tatapan kosongnya.
"Kenapa dengan minggu depan?"
"Sa'atazawaj*¹"
"Madzaa?? Hana Ant'— satatazawaj?*²" Sepasang Mata Chaca terbelalak lebar.
"Han, kamu serius?" Sambung Miftah dengan mimik wajah tak percaya.
Hana menghela nafas, menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari keterkejutan kedua sahabatnya. Hingga sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Hana. Itu adalah sebuah pesan dari Pasha.
[Sudah selesai MK nya?]
[Sudah pak] Hana baru tersadar kalau kelas sudah berakhir sejak beberapa menit yang lalu.
[Saya tunggu kamu di dresscodes boutique, kita fitting baju buat wedding]
Hana menghela nafas berat membaca pesan itu.
[Saya tunggu dua puluh menit, jangan terlambat!]
Hana mendesah panjang, mengambil tas samping meletakkan di bahu kanannya, Hana bangun dari duduk. Hana melihat Miftah dan Chaca termangu diam menatap dirinya dengan raut wajah tak tergambarkan, "Temanin aku yuk!" Hana berusaha tersenyum.
Bagaimanapun fitting baju pengantin, itu adalah hal-hal manis yang dilakukan tiap pasangan yang hendak menikah. Biarpun ini bukanlah pernikahan yang diharapkan, bukan berarti Hana kena terus mengeluh pada nasib malangnya itu.
"Sebentar-sebentar!" Chaca yang baru saja pulih dari shock berat, menatap Hana dengan mimik wajah separuh kebingungan, "Minggu depan, kamu bakal nikah, kamu gak sedang bercanda kan Han?"
Hana tersenyum kecil, "Engga. Memangnya kalian pernah liat aku bercanda?"
Chaca dan Miftah saling bertukar pandang. Hana yang super duper serius dalam hal apapun itu kapan pernah bercanda?
"Ini aku mau fitting baju pengantin, kalian berdua temanin aku ya?" Hana berseru seceria yang ia bisa.
"Han- kamu—"
"lihadzal yawm faqat..*³" Hana menatap Chaca dan Miftah bergantian, mata hitam bening itu tampak penuh permohonan, "Aku harap kalian perlakukan aku seperti calon pengantin wanita yang bahagia"
Miftah dan Chaca menatap sendu Hana. Hingga keduanya terakhir mengangguk pelan, "Oke"
—••—
Mereka bertiga sudah berada dalam mobil Porsche merah Hana. Miftah duduk di bangku belakang dan Chaca duduk di samping Hana yang fokus menyetir. Chaca menekan salah satu tombol dan membiarkan atap mobil mewah itu terbuka.
Panas terik matahari pun jatuh di atas wajah ketiganya yang saling tertawa, bersenandung ceria mengikuti bait-bait musik yang bealiran timur tengah. Diantara ketiganya, Chaca yang paling heboh. Aksi lucu dan konyolnya itu, berhasil mengundang tawa Hana pecah beberapa kali.
Miftah hanya menggelengkan kepalanya seperti biasa dan mengikuti keseruan sekenanya.
Sepanjang jalan menuju butik, untuk sesaat Hana terlupa akan rasa sakit dan keputusasaan. Hiburan kecil dari kedua sahabatnya itu membuat Hana terhibur sampai terlupa kegalauannya beberapa saat lalu terkait pernikahan yang tak diharapkan.
Sesekali angin perkotaan berhembus, menerpa kedudukan hijab ketiga wanita itu hingga bergoyang-goyang tertiup angin. Musik terus mengalir dan ketiganya tidak berhenti menyanyi hingga mobil merah menyala itu terparkir tepat di sebuah butik berkelas.
"Kita sampai!" Hana melepas sabuk pengaman dan mengajak kedua sahabatnya keluar dari mobil.
"Kamu bakal fitting baju buat wedding kamu disini?" Chaca menatap kagum pada bangunan berlapis kaca yang menampakkan sekilas beraneka jenis gaun mewah yang mahal.
"Em"
"Serius Han, ini tu mewah banget" Chaca merasa seperti menemani seorang tokoh protagonis dalam sebuah drama yang pergi fitting baju pengantin.
"Dunia orang kaya emang diluar jangkauan ya Cha" Miftah ikut terpesona dengan penampilan butik berkelas itu.
Hana tersenyum pelan. Mungkin bagi dua sahabatnya, dirinya itu seperti seorang putri di negri dongeng atau mungkin seorang protagonis wanita di sebuah drama. Tapi apapun itu, ini bukanlah kisah yang kena mengena dengan...