Bangun pagi, Hana menjalani aktivitasnya seperti biasa. Berpakaian rapi dan bersiap-siap ke kampus karena hari ini Hana ada jadwal kelas pagi. Menyematkan tas samping ke pundak kirinya, Hana berjalan menuruni anak tangga. Melangkah ke dalam ruang makan yang sepi, Hana terkejut melihat sudah ada dua orang yang duduk di meja makan.
"Loh papa, belum berangkat?" Itu pemandangan langka melihat papanya yang super duper cepat dan sibuk masih menyempatkan sarapan di rumah.
"Duduk Han, papa mau ngomongin sesuatu tuh" Keira meletakkan roti tawar yang baru saja diolesi selai strawberry di atas piring untuk Hana. Lalu separuh bangun menuangkan susu vanilla hangat ke gelas yang masih kosong.
"Oh" Hana menarik kursi dan duduk. Sepertinya ia tau papanya itu akan membicarakan apa sampai-sampai menyempatkan waktu untuk sarapan di rumah.
"Papa denger dari pak Shahbaz, kalian berdua sepakat untuk mempercepat pernikahan?"
Hana meletakkan segelas susu vanilla hangat yang baru saja di minumnya di atas meja dan mengelap sudut bibirnya. Mengangkat pandangan pada sang ayah, "Benar pa"
"Itu atas inisiatif mu sendiri atau karena paksaan dari Pasha?"
Hana mengulum rapat bibirnya, mengingat percakapan malam itu. Hana sadar dirinya lah pemicu kesialan ini, "Atas inisiatif Hana pa"
"Kenapa? Perkuliahan kamu kan tinggal dua semester lagi, kenapa gak tunggu siap wisuda saja?" Selidik Arya dan Keira terus menyimak sambil mengunyah roti di mulutnya.
"Gak baik pa tunangan lama-lama. Hana merasa gak nyaman. Mending langsung nikah pa, jadi pasangan halal yang sah di mata hukum dan agama"
Arya memperhatikan raut wajah Hana lamat-lamat. Putri bungsunya itu memang jauh berbeda dari kedua putrinya yang lain. Pemikirannya sederhana dan religius, membuat Arya merasa jawaban Hana tadi itu cukup masuk akal, "Papa mengerti niat baik kamu. Tapi apa kamu yakin pernikahan ini engga akan menghambat studi S1 kamu?"
"..." Hana menggigit sepotong roti selai strawberry itu, sambil menatap sang ayah memikirkan jawaban.
"Dua semester itu kan gak lama lagi, jadi papa rasa tidak ada salahnya jika di tunda barang sebentar. Lagipun kalian berdua juga bukannya sering ketemuan kan?"
Hana nyaris saja tersedak. Tidak sering ketemu gimana? Semenjak malam di mana ia terlibat dengan Pasha, ada saja hari dan waktu ia ber-semuka dengan CEO muda itu.
Ekspresi Hana yang seperti itu tertangkap jelas oleh Arya, "Kenapa? Jangan bilang kalian selama ini sering ketemuan?"
"I-ya Pa. Itu kenapa Hana merasa gak nyaman. Hana udah coba kasih pemahaman sama Pak Pasha, tapi tetap aja pak Pasha nya gak paham-paham. Tapi..Hana juga sih yang salah karena udah beberapa kali ngajak ketemuan"
"Kamu ngajak Pasha ketemuan? Kalian berdua diam-diam kencan di belakang papa?"
"Huk..huk.." Hana baru saja meminum seteguk susu dan terus tersedak. Menepuk-nepuk dadanya pelan, Hana menatap pada sang ayah dengan senyum tertekan, "Ya engga lah Pa, Hana kan gak pacaran"
"Terus kalian ketemuan buat apa?"
"I-tu—" Hana tidak mungkin bilang kan kalau itu terkait persyaratan dan kesepakatan...
"Itu kenapa?" Desak Arya, ia memang sedikit lebih protektif pada Hana.
Hana menoleh sekilas pada Keira, matanya berkedip memohon pertolongan.
"Ya untuk apa lagi pa? Jelas buat ta'aruf lah. Iya kan Han?" Selamba Keira.
"Iya, ta'aruf pa" Hana tersenyum dengan perasaan bersalah.
"Berdua aja? Bukannya itu gak boleh ya?"
Deg! Hana merasa begitu tertohok.
"Ya karena itulah Pa, Hana mutusin untuk nikah aja. Daripada terus nambah dosa kan?"
—•••—
Ruang rapat terasa hening dan mencekam. Sikap dingin Pasha yang menyimak dan memperhatikan dalam diam dengan sepasang mata elang yang sesekali membidik tajam, itu berhasil menurunkan temperatur ruangan. Seorang karyawan pria yang berdiri di depan mengakhiri presentasinya tepat saat satu butir pasir terakhir baru saja jatuh.
Pasha mengubah posisi jam pasirnya dan suasana yang menegangkan membuat orang-orang saling menarik nafas dalam-dalam, "Buka semua smartphone kalian"