Hana berdiri tepat di standing mirror, memperhatikan lekuk tubuhnya yang terbungkus anggun dalam gaun putih pengantin yang Pasha desain sendiri untuknya. Gaun itu sangat sederhana, tak ada pernak-pernik apapun yang membuatnya terlihat mewah. Itu lurus saja hingga mengecil di pinggang Hana yang ramping dan jatuh memukau kebawah bak bunga melati mekar yang menawan.
Halusnya kain yang berbahan dasar sutra platinum itu membuat kulit Hana begitu nyaman melekat dengannya. Orang-orang barangkali menganggap gaun pengantin itu terlalu biasa untuk seorang putri konglomerat, tapi menyadari bahan kain yang digunakannya, siapapun tidak akan ada yang berani meremehkan.
"Kamu cantik banget Han" Chaca yang baru saja selesai merias wajah Hana, berdiri di samping cermin menatap kagum pada penampilan Hana yang begitu memukau dalam gaun pengantin.
"Walaupun desain gaunnya cukup sederhana, tapi cukup menawan di tubuh kamu Han" Miftah menatap tak berkedip menyusuri Hana dari atas hingga bawah.
"Alhamdulillah bahan gaunnya barang platinum Han, kalau engga udah aku protes tu ke pak Pasha" Chaca berdiri melipat kedua tangannya di depan dada, dengan tatapan mengomentari gaun putih yang berhasil terlihat berkelas karena bahan dasar pembuatannya.
"Emang kamu berani?" Miftah tersenyum kecil menggoda Chaca.
"Ya beranilah, masa engga" Chaca tersenyum pongah setengah mencibir. Miftah hanya tersenyum menggelengkan kepalanya.
Hana mencoba tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, "Perona pipinya terlalu mencolok Cha, bisa di pudarin sikit engga?"
"Ya ampun Han itu tu udah cocok banget tau, udah klop banget sama penampilan natural kamu"
"Tapi Cha ini tu mencolok banget, liat tu merahnya..." Hana menunjuk ke salah satu pipinya yang sudah dipoles perona. Seumur hidup, itu adalah kali pertama Hana memakainya.
"Han, aku udah dandanin kamu sempurna banget loh. Kalo itunya di pudarin ntar wajah kamu gak hidup" Bebel Chaca menolak menuruti kemauan Hana. Padahal sentuhan make up yang ia poles kan ke wajah itu sudah sangat natural dan tidak ada yang mencolok.
"Engga hidup gimana? Ini tu mencolok banget Cha pink nyaa..ntar dikira kelopak sakura lagi nempel di sini" Ujung jari telunjuk Hana menekan pipinya yang dipoles perona.
"Hahaha—gak lucu" Chaca memberengut, "Coba liat Mif, menurut kamu mencolok gak?"
"Hemm.." Miftah memperhatikan wajah Hana saksama. Polesan bedak tipis di wajah putih Hana yang berseri, secalit celak hitam di kedua mata kecilnya yang menawan, pemerah bibir dengan warna merah muda yang sangat kalem dan perona pipi yang sangat halus. Semua sentuhan itu terlihat tipis natural dan sesederhana penampilan Hana, "Engga kok, engga mencolok"
"Tuh kan aku bilang apa" Chaca menepuk kedua tangannya puas, "Kalau Miftah aja udah bilang gitu, berarti itu cuma perasaannya kamu aja Han"
"Gitu ya?" Hana tersenyum tipis tak yakin.
"Em" Chaca mengangguk, "Ya wajar si, kamu kan jarang makeup-an"
Hana akhirnya berdamai. Pergi memperhatikan wajahnya sekali lagi di cermin dan menarik nafas, "Kalau gitu, yuk kita pergi" Hana menghembuskan nafas mantap.
"Okee, cus kita berangkat!" Chaca dan Miftah mengangkat kedua tangannya, tersenyum ceria pergi menggandeng pengantin wanita— Hana.
Ketiganya pun bergegas pergi meninggalkan kediaman Hana yang luas dan besar. Masuk kedalam mobil Porsche merah Hana yang sudah dirias cantik hari itu dengan pita besar di atas kap depan, Hana pun mengemudi kan mobilnya itu sebahagia mungkin menuju tempat dimana akad pernikahannya berlangsung.
Ya, hari itu adalah hari dimana Hana akan segera mengakhiri masa lajangnya dengan seorang pangeran kegelapan. Bukan pangeran berkuda putih yang selama ini menjadi impiannya di setiap malam.
Setelah beberapa menit perjalanan, mobil mewah berkelas itupun berhenti tepat di sebuah taman nan indah di mana dekorasi pernikahan sudah dibuat sedemikian meriahnya di sana. Bangku-bangku putih berjejer rapi telah diduduki oleh para tetamu yang hadir. Hampir dari mereka semuanya adalah para kolega bisnis milik dua keluarga besar yang akan menikah hari ini.
Tepat ketika Hana melangkah turun dari mobil, pemandangan bak bidadari bergaun putih bersih itu berhasil menjadi pusat perhatian para hadirin. Mereka serempak berbalik dan menoleh pada Hana. Bisikan-bisikan kecil pun mulai terdengar di sela-sela keheningan.
"Apa itu putri bungsunya pak Arya?"
"Cantik sekali ya, persis seperti almarhumah ibunya"
"Ku dengar putri bungsunya itu dikenal religius dan tertutup, setelah melihat penampilannya hari ini, benar-benar seperti mutiara yang muncul dari balik cangkang"
"Tapi sayang, gadis berhijab seperti dia menikahi pengusaha licik seperti Pasha"
"Padahal kan masih ada dua orang kakaknya yang masih lajang, kenapa keluarga Arslan harus mengorbankan yang paling muda?"
"Sungguh gadis kecil yang malang!"
Bisikan itu sama sekali tidak sampai ke telinga Hana yang sedang berdiri cemas di samping mobil Porsche merahnya bersama kedua sahabatnya yang terus menenangkannya dari tadi.
"Aku gugup banget ni, apa lebih baik aku tunggu aja di rumah ya?" Hana menggigit bibir bawahnya merasa kacau.
"Jangan Han, bentar lagi akad nikahnya mau dimulai. Kamu tokoh utama hari ini, ya kali kamu pergi gitu aja" Tutur Chaca.
"Tapi aku gugup banget Chaa.." Hana mencak-mencak di tanah, "Malah tiba-tiba rasa macam mau mules lagi" Hana melilit perut datarnya yang mendadak terasa macam diputar.
"Itu karena kamu gugup Han" Miftah menepuk pundak Hana lembut, "Ayo ikutin aku ya, tarik nafass..buang.."
Hana mengikuti penuturan Miftah, menarik nafas dan menghelanya perlahan.
"Gimana, udah lebih tenang?"
"Em" Hana mengangguk pelan, meskipun masih ada sedikit rasa gugup yang melingkupi dirinya.
"Hana" Panggilan itu membuat ketiganya serempak menoleh ke asal suara. Yang tak lain adalah Keira yang sudah tampil cantik dalam balutan gaun merah muda yang lembut seperti peony.
"Kak Kei" Hana tersenyum cerah melihat kedatangan Keira.
"Kak Keira" Miftah dan Chaca sama-sama tersenyum menyapa sopan kakak temannya itu.
"Makasih ya udah nemenin plus ngurusin pengantin wanitanya dari semalam sampai sekarang" Keira tersenyum lembut pada Chaca dan Miftah. Dua orang itu telah menemani Hana semalaman. Ya, mereka berdua menginap di rumah untuk membantu membereskan segala keperluan dan kebutuhan Hana. Sedang ia dan Ratna sibuk mempersiapkan segala kebutuhan acara.
"Sama-sama kak, kita berdua senang kok ngelayanin tuan putri kita yang satu ini" Chaca tersenyum sumringah seraya menyenggol bahu Hana santai. Hana hanya tersipu malu mendengar dirinya disebut tuan putri.
Keira memperhatikan gaun pengantin yang dikenakan adiknya itu, mendesah berat, "Selera pria itu benar-benar buruk"