Miftah dan Chaca pun izin pamit pulang. Setelah acara selesai, Hana kembali ke kediamannya bersama Pasha dan di sana sudah ada pria tua yang duduk di kursi roda, tersenyum kecut melihat kehadirannya. Itu tak lain adalah pria tua yang Hana sangat segan dengannya. Seseorang yang paling menentang keras cita-cita Hana untuk menjadi seorang sastrawan timur tengah.
"Akhirnya aku melihat mu berguna juga." Hana pergi menyalami kakeknya, senyumnya terus mati mendengar rentetan kalimat itu keluar dari mulut itu.
"Ayah, apa yang ayah katakan?" Arya berseru tak senang pada bapak mertuanya itu yang tak lain adalah ayah dari almarhumah istrinya. Arya tau sejak dulu orang tua itu tidak senang karena Hana tidak mengambil peran pebisnis seperti cucu-cucunya yang lain yang dengan mahirnya mengembangkan bisnis keluarga.
"Aku hanya mengatakan akhirnya anak ini berguna." Hartono menatap tajam Arya. Ia sangat tidak puas karena Arya selalu memanjakan Hana dan menuruti semua kemauan Hana. Padahal keluarga mereka punya aturan keras agar kelak setiap anak yang lahir harus meneruskan bisnis keluarga atau paling tidak berkemampuan membangun bisnis sendiri demi mengharumkan nama keluarga besar.
Tentunya itu juga menjadi aturan yang tak tertulis di keluarga Arslan, keluarga besar dari pihak menantunya, Arya.
Pasha menoleh pada Hana yang tertunduk diam. Pasha dapat melihat kesedihan di raut wajah Hana, terus hatinya merasa tidak puas, "Jadi selama ini Hana tidak berguna di mata anda?"
Hana tercekat, matanya terus menoleh panik pada Pasha, "Pak Pasha.."
"Ya." Hartono menatap tak suka Pasha. Kalau bukan karena anak itu merupakan pewaris satu-satunya keluarga El-Murad, ia akan terlalu malas melayaninya, "Anak itu hanya tau mengkritik usaha bisnis keluarga yang sudah turun-temurun dan konyolnya mengambil sastra yang tak jelas itu, mengotori darah bisnis keluarga besar Arslan dan Wijaya yang sudah berdarah daging."
Hana menatap ke lantai, sepasang matanya sudah berkaca-kaca.
"Anda—" Refleks Hana menarik kain pergelangan jas hitam Pasha dan mengirimkan sinyal, 'Jangan berkata apa-apa lagi'.
Tak ingin suasana semakin keruh, Ratna terus menghampiri kakeknya itu. Jika Hana merupakan anak emas ayah mereka, maka Ratna seperti permata kesayangan pria tua itu.
"Kakek, hari ini Ratna bertemu dengan salah seorang kolega bisnis Ratna dari jepang, katanya dia mengenali Kakek.."
"Ho..ho siapa itu?"
"Pengusaha seperti kakek juga, dia memiliki restoran besar di Tokyo dan cabangnya juga sudah sangat banyak. Namanya kalau tidak salah Akiyama."
"Ah, pak Akiyama? Ya kakek mengenalnya. Dia salah seorang rekan bisnis.."
Begitulah percakapan keduanya mengalir dan mereka benar-benar berada di dunia lain. Keira menghela nafas, syukurlah Ratna berhasil mencuri pusat perhatian pria tua itu. Jika tidak, Hana pasti akan lebih sakit hati mendengar kata-kata pedasnya.
"Jangan terlalu diambil hati ucapan kakek mu tadi." Arya tersenyum lembut pada Hana.
"Iya pa." Hana memaksakan seulas senyum tipis.
"Cepat kemasi barang mu." Ucapan Pasha itu seketika mengagetkan Hana.
"Bukannya kita sudah sepakat itu akan menjadi keputusan Hana untuk tetap disini atau ikut dengan mu." Ujar Arya.
"Hana, bagaimana keputusan mu?" Pasha menatap wajah kebingungan Hana, "Ikut tinggal bersama ku atau tinggal beberapa saat di sini?"
Hana terdiam berpikir. Tentunya akan merasa sangat canggung jika langsung tinggal bersama Pasha. Tapi karena Pasha adalah suaminya sekarang, sudah semestinya Hana mengikuti pria itu.
"Kalau saya mau tinggal disini dulu barang beberapa hari, bapak ngizinin gak?"
"Engga."
"Pasha." Tegur Arya tak senang, 'berani-beraninya anak itu menolak permintaan putriku'
"Pa, kalau gitu mulai hari ini Hana pamit untuk ikut Pak Pasha ya pa." Hana tersenyum lembut pada sang ayah.
"Hana, papa tau kamu keberat—"
"Pa, sekarang pak Pasha suaminya Hana. Mana mungkin Hana keberatan?" Lagi-lagi Hana berbohong. Mungkin itulah kenapa kata orang kebohongan yang satu, maka akan terus melahirkan kebohongan lainnya.
"Jika itu sudah menjadi keputusan mu, papa tidak bisa bilang apa-apa lagi."
—•••—
Pasha membawa Hana pergi ke apartemen mewah pribadinya. Ukurannya cukup luas dan besar. Dekorasi nya hitam putih yang dingin persis seperti cerminan diri Pasha. Setiap barang dan perabotan didalamnya tertata dengan sangat rapi.
"Ini adalah apartemen pribadi saya. Lokasinya cukup strategis dengan jarak ke kampus mu dan keamanannya pun sudah sangat terjamin." Pasha pergi duduk di sofa tunggal yang ada di ruang tamu, "Sebulan mungkin bisa tiga kali saya melakukan perjalanan bisnis, jadi kamu tidak perlu cemas jika tinggal seorang diri disini."
"Ohh" Hana yang masih berdiri memegang koper, mengangguk-angguk sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan.
"Di sini hanya ada dua kamar. Tapi saya tidak mengizinkan mu untuk memakai kamar yang kosong itu." Pasha menyilang kan kedua kakinya.
"Kenapa pak?"
"Itu kamar tamu, sedang kamu adalah istri saya. Bagaimana mungkin saya menyuruh mu memakai kamar itu."
"Jadi nanti kamar saya yang mana pak?"
"Kamu pakai kamar saya."
"Ap-apa pak?" Mendadak kedua lutut Hana menjadi lemas.
"Mulai sekarang kamar saya adalah kamar kamu juga." Pasha dengan sigap bangun dari duduknya, "Saya harus pergi sekarang. Ada hal yang harus saya urus. Jika ada apa-apa langsung saja telfon saya."