Pernikahan Yang Sempurna

Sifa Azz
Chapter #22

22. Bertemu Cinta Pertama

Walau ini bukanlah pernikahan yang Hana harapkan, tapi Hana merasa sangat bahagia dapat melaksanakan shalat shubuh berjamaah dan berdiri sebagai makmum dari seorang imam yang merupakan suaminya sendiri. Tepat ketika salam terakhir dan shalat shubuh usai. Hana bangun, ragu-ragu mendatangi Pasha.


"Ada apa?" Pasha menoleh kebelakang, melihat Hana sudah duduk bersimpuh di dekatnya.


Hana menekan rasa gugupnya, perlahan mengambil tangan kanan Pasha dan mencium punggung tangan suaminya itu. Perlakuan Hana itu membuat Pasha terkesiap. Tampak sepasang bulu mata Pasha berkedip samar, melihat hidung dan mulut Hana mendarat di punggung tangannya.


"Sekarang kamu sudah tidak takut lagi memegang tangan saya?"


Hana membulatkan matanya terkejut, kepalanya mendongak pada Pasha, "Memangnya kapan saya takut?"


"Oh, terus kemarin kenapa kamu gak langsung terima uluran tangan saya pas salaman setelah akad?"


Hana mengedipkan matanya gugup, kedua pipinya menghangat mengingat agenda panjang seharian kemarin, "Oh itu—"


Pasha melihat pipi Hana yang bersemu merah itu tampak sangat indah, seakan-akan sebuah mutiara putih menguarkan cahaya merah muda samar yang cukup menawan mata, "Itu apa?" Pasha terus mendekatkan wajahnya dengan wajah Hana.


Hana merasa seperti jantungnya baru saja melompat keluar, tepat ketika ujung hidung Pasha yang mancung itu menghantam lembut tulang pipi kirinya, "B-bapak ngapain? J-jangan deket-deket gitu saya gak nyaman"


Hana mencoba menjauh tapi mendapati Pasha mencekal erat pundak kanannya, "Kamu gak nyaman sama saya?"


Cekalan itu lumayan kuat, membuat Hana tak tahan untuk tidak berkerut kening menahan nyeri, "S-sakit pak!"


"Jangan mengalihkan pembicaraan" Mata elang itu menekan Hana dengan tatapannya.


"Siapa yang ngalihin pembicaraan sih Pak? Serius ini beneran sakit.." Lirih Hana merasa kedua pelupuk matanya menjadi perih kala nyeri itu merambat ke seluruh sel saraf dalam tubuhnya.


'Apa yang didepan ku ini manusia? Kenapa kasar sekali!'


Melihat mata Hana yang berkaca-kaca, Pasha terus melonggarkan cekalan nya di pundak Hana. Tatapan mengeras nya pun berubah menjadi lembut memandang jauh ke dasar mata Hana. Perubahan yang sangat signifikan itu membuat jantung Hana berdebar keras. Hana melihat Pasha mengangkat tangannya itu perlahan mendekati bagian belakang kepalanya.


Awalnya Hana tidak mengerti apa yang hendak Pasha lakukan, sampai ketika mukena nya perlahan di tarik, detik itulah Hana paham. Pasha mencoba menanggalkan mukena putih yang dikenakannya. Saat itu Hana ingin menahan tindakan Pasha, tapi tidak tau kenapa...


Tatapan mata elang itu yang masih menatap jauh ke dalam matanya, membuat otot-otot Hana membeku tak dapat bergerak.


Selesai menanggalkan mukena Hana, mahkota hitam yang selama ini ia jaga kini terungkap sempurna dihadapan Pasha. Rambut hitam panjang sebahu itu terurai begitu manis membingkai wajah kecil Hana yang cantik. Hana memperhatikan ekspresi Pasha, berharap akan menemukan kekaguman atau paling tidak ketakjuban.


Hana sadar hati wanitanya merasa ingin dipuji oleh pria yang kini merupakan suaminya. Tapi reaksi Pasha..


Seperti bukan apa-apa.


'Kenapa aku merasa kecewa?'


Tangan Pasha tiba-tiba mendarat di atas pundak kanannya, pupil mata Hana membesar mendapati tangan besar itu mulai menarik turun kerah piyamanya ke bahu. Seketika Hana menahan pergelangan tangan Pasha, "B-bapak mau apa?"


"Saya mau periksa"


"P-periksa apa?" Jantung Hana berdebar kencang.


"Saya mau lihat, pundakmu lebam atau tidak karena perbuatan saya tadi"


"Huh?" Mendadak Hana menjadi linglung.


Pasha mengabaikan Hana, terus menarik kerah piyama Hana tepat ke bawah pundak kanannya. Pundak Hana yang putih mulus pun terlihat, Pasha menjatuhkan pandangannya lebih dekat. Memasang tatapan yang cukup teliti seakan sedang menelusuri kerusakan di sebuah barang.


"Tidak ada memar"


Hana menahan nafas, hampir mati dalam kegugupan. Sentuhan jari-jemari Pasha yang menekan pelan kulit telanjangnya itu membuat Hana tak tahu harus mendeskripsikan perasaannya seperti apa.


"Baguslah" Sekilas, Hana dapat melihat Pasha yang tersenyum puas dan lega. Itu persis seperti tatapan seseorang yang sangat bersyukur karena barang kepunyaan nya tidak rusak.


'Apa ini?'


'Apa jangan-jangan pak Pasha hanya mengganggap ku sebagai barangnya saja?'


Pemikiran itu membuat Hana terguncang.

—•••—

Persis seperti Ratna dan ayahnya, Pasha yang super duper sibuk itu sudah berangkat awal ke perusahaan tanpa menyempatkan diri untuk sarapan di rumah. Hana yang kelaparan semalaman, sekarang sarapan pun tidak bisa karena tak ada selembar roti pun di meja makan.


Itu wajar tak ada bahan makanan apapun di apartemen monoton ini. Pria sibuk seperti Pasha pasti tidak pernah ada waktu untuk pulang buat makan.


"Hah, sabar Hana" Jika hidup seperti ini, masih lebih baik rumahnya sendiri, "Aku jadi kangen kak Keira" Mengusap perutnya, Hana pergi membuka kulkas. Hana mengambil sekotak susu dan menuangkannya ke dalam gelas.


Hana berjalan duduk di kursi ruang makan yang sunyi. Meminum seteguk susu vanilla dingin itu, Hana mengambil ponselnya yang ada di meja dan menghubungi Chaca. Tapi niatnya seketika tertahan...


"Kalo aku telfon Chaca, itu anak pasti bakal marah banget kalo tau kondisi aku kaya gini dibuat sama tu bapak"


Setelah memikirkannya dengan matang, Hana memutuskan untuk menelfon Miftah, "Assalamu'alaikum Mif.."


"Wa'alaikumsalam, iya kenapa Han?"


"Boleh jemput aku gak di apartemennya pak Pasha? Mobil aku masih di rumah soalnya"


"Oke, share lock aja ya. Ntar aku langsung gas ke sana"


"Jazakillah Mif"

Lihat selengkapnya