Malam harinya Pasha mengajak Hana pergi supermarket untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-hari. Pasha sadar sekarang apartemen itu tidak hanya dirinya seorang di sana. Tapi sudah ada Hana— permata berharganya. Tentu Pasha harus menjaga permata itu sebaik mungkin, Pasha tak ingin kejadian Hana yang masuk rumah sakit karena terlewat waktu makan itu kembali terulang.
Ini pertama kalinya bagi Hana berbelanja bersama seorang 'pria' yang berstatus kan suami. Tidak tau kenapa, diam-diam Hana merasa kegiatan itu cukup manis. Pasha mendorong troli dan Hana mengambil beberapa barang yang diperlukan. Tidakkah seperti ini mereka sudah seperti pasangan pada umumnya?
"Minyak goreng, minyak sayur, minyak Zaitun, kecap, saus, garam, gula, terus apa lagi ya?" Hana memperhatikan barang-barang yang sudah terkumpul di troli. Berpikir keras apa yang masih diperlukan. Sedang Pasha tampak berdiri memegang troli dengan wajah bosan.
"Ah, lada" Hana dengan cepatnya berjalan menyusuri rak, mencari di mana barang yang dibutuhkannya. Pasha menghela nafas dan mendorong troli mengejar ketertinggalan.
Tepat sekitar tiga puluh menit berlalu, keranjang troli itu sudah penuh dengan berbagai macam bahan makanan, telur, daging dan sayur. Pasha yang sudah sangat jenuh dengan situasi itu berkata, "Sudah cukup belanjanya, ayo pergi"
Pasha terus mendorong troli, bersiap pergi ke kasir. Tapi Hana dengan cepat menarik baju Pasha menahannya agar tak pergi, "Sebentar pak, masih banyak yang mau saya beli"
"Beli apa lagi? Ini sudah banyak"
"Bapak bosan ya belanja sama saya?"
"Iya"
Hana dalam hati memberengut. Apakah harus se-lugas itu sama istrinya sendiri? Hana sadar, bersama Pasha tidak ada yang bisa di harapkan. Manis? Manja? Romantis? Semua hanya akan menjadi sadis bersama pria dingin itu.
"Ya udah bapak pulang aja. Saya masih mau beli beberapa kebutuhan" Masih banyak hal yang belum dibelinya, mulai dari peralatan mandi, kebutuhan wanitanya dan beberapa barang lainnya.
"Engga" Pasha tentunya tak mau membiarkan permata nya yang berharga belanja seorang diri di supermarket sebesar ini. Itu membuat Pasha merasa tak aman.
"Lah terus gimana Pak? Masih banyak yang harus saya beli ini" Hana sudah terbiasa dibuat frustasi sama pria tiga puluhan itu.
"Saya ikut, saya temani!" Pasha akhirnya pasrah, kembali mendorong troli memutuskan bersabar menemani Hana berbelanja.
Hana mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Ya meskipun dingin, tapi sedikit ada manisnya juga.
"Ayo!" Seru Hana semangat.
Melihat deretan rak yang menata berbagai macam jenis mie instan, Hana tak dapat melewatkan godaan itu. Langkahnya berhenti dan terus mengutip beberapa varian rasa mie instan dan meletakkan di keranjang troli.
"Apa ini?"
"Mie instan" Jawab Hana santai, "Masa sih bapak gak tau?"
"Taruh balik ke tempatnya"
"Lah, kenapa Pak?"
"Mie instan itu gak sehat, masa kamu gak tahu?"
Hana menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Mungkin inilah nasibnya menikahi seseorang yang berjarak sepuluh tahun dengannya. Tidak hanya pola pikir yang berbeda, tapi pola hidup pun juga sangat tidak sama.
"Ya tau pak, tapi kan gak apa sekali-kali"
"Tetep aja gak boleh"
"Pak Pashaaa.." Hana sadar perlahan dirinya mulai nyaman menunjukkan karakter dirinya yang sebenarnya pada pria yang lebih dingin dari es batu itu.
"Pokoknya gak boleh" Tegas Pasha, langsung membuang pandangannya. Penampilan Hana yang seperti itu selalu membuatnya tak tahan untuk tidak menuruti kemauannya.
"Gimana kalo lima bungkus aja, buat sebulan?"
Mata Pasha membesar. Hana meneguk liur pahit, terus mengerti.
"Kalo gitu tiga aja gimana?"
Pasha menggelengkan kepalanya membuat Hana mendesah berat. Membujuk pria dingin itu benar-benar menguras tenaga dan energi.
"Ya udah deh, satu aja. Ya?" Hana tersenyum lebar, mengedip-ngedip kan matanya memohon.
Tanpa sepengetahuan Hana, sikap manisnya itu berhasil membuat daun telinga Pasha memerah, "Ekhem"
"Pak Pashaaa" Hana menarik-narik baju Pasha, merengek.
"Yaudah boleh, satu aja"
"Makasih pak" Hana tersenyum senang.