"Hana, pokoknya aku gak mau tau. Kamu harus cerita ke kita berdua. Sebenarnya kenapa sih kamu pakai masker hari ni?" Setelah mereka keluar dari ruang, Chaca tidak berhenti menuntut hal itu di sepanjang mereka berjalan meninggalkan gedung kampus.
"Chaa, jangan dipaksa gitu dong Hana nya, kasiann.." Tutur Miftah tak tega. Melihat Hana yang tampak kesulitan menghadapi Chaca yang sedari tadi terus mengulangi pertanyaan yang sama.
"Gimana gak aku paksa sih Mif? Hana dari awal datang ke kelas dengan masker aja udah aneh banget. Oke kita skip soal masker, terus yang Hana melamun di kelas sampai dosen panggil tiga kali pun Hana nya gak sadar—" Cerocos Chaca dengan dada yang berdebar naik turun, "Aku curiga ini pasti ada sangkut pautnya sama Pak Pasha. Iya kan Han?"
Hana menghentikan langkahnya. Menarik nafas dalam-dalam, Hana menoleh kearah Chaca yang juga ikut berhenti berjalan, "Cha, aku—"
Hana bingung harus berkata apa. Hana tidak ingin menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Pasha. Hana tidak mau membuat kedua temannya cemas. Lantas...
'Haruskah aku berbohong lagi?'
Miftah menepuk lembut pundak Hana berujar pelan, "Han, kita berdua tu temen kamu. Kita tau kalau kamu itu lagi ada masalah. Kamu yang bahkan hampir gak pernah melamun didalam kelas selama lima semester yang udah kita jalanin dulu, tapi ngeliat kamu tiba-tiba kaya gini— jadi wajar kalau kita..."
Belum selesai Miftah berbicara, Miftah terkejut melihat Hana yang mulai menangis terisak-isak, "Hana, kamu—"
Hana tak dapat menahannya lagi. Bagi Hana, Miftah dan Chaca sudah seperti saudara perempuannya. Melihat mereka berdua se-cemas itu mengkhawatirkan dirinya. Bagaimana Hana bisa tidak...
"Aku mau jujur sama kalian, hiks.." Hana memeluk Miftah dan Chaca dengan punggung berguncang karena tangis.
"A-aku menyesal sama pernikahan aku.."
"A-aku gak tau harus gimana ngehadepin semua ini ke depan.."
"A-aku takutt.."
Fakta Pasha yang jauh lebih menyeramkan dari rumor— kejam dan protektif yang diluar nalar. Membuat Hana tak punya keberanian untuk terus tinggal lama bersama pria yang berstatus suaminya itu.
Miftah dan Chaca mengusap lembut punggung Hana. Keduanya sedih melihat Hana yang menangis sebegitu nya karena pernikahan yang baru saja beberapa hari itu.
Hana yang menangis di pekarangan kampus itu sukses mengundang perhatian beberapa pasang mata.
Melihat itu Chaca berujar pelan pada Hana, "Kita lanjut ditempat lain aja ya, gak enak disini semua pada liatin kamu"
Hana mengangguk sambil mengusap kedua matanya yang sudah basah karena air mata. Miftah dan Chaca pun membawa Hana ke salah satu taman yang letaknya tak begitu jauh dari lokasi kampus. Mereka bertiga duduk di atas bantalan rumput yang bersih dan terpangkas dengan rapi. Tampaknya taman ini cukup terawat dan diperhatikan.
"Tadi kamu bilang ke kita kalau kamu takut kan? Coba cerita.." Bujuk Miftah lembut, tangannya menggenggam tangan Hana hangat, "Sebenarnya apa yang buat kamu takut?"
Hana menatap kearah Miftah dan Chaca bergantian. Hana dapat melihat kekhawatiran yang tergambar jelas di raut wajah mereka. Hana mengepalkan tangannya dan memutuskan untuk...
"Cha, kamu pernah bilang kan yang protektif nya pak Pasha itu bisa aja kelewatan.."
"Eum" Chaca mengangguk.
"Semalam aku sadar, pak Pasha memang kelewat protektif sama aku. Dia hampir aja hukum aku karena aku udah nyentuh dapur"
"Apaa?" Chaca memekik keras, "Itu orang hampir aja hukum kamu cuma karena—" Chaca merasa sulit mempercayai pendengarannya.
"Eum" Hana mengangguk lemah.
"Tapi Alhamdulillah nya gak jadi. Pak Pasha cuma kasih peringatan aja buat aku untuk jangan nyentuh dapur lagi kedepannya" Hana tidak menceritakan bagian ancaman Pasha yang jika ia melanggar. Hana tidak siap melihat Chaca yang akan meledak dengan gejolak api yang tak terkontrol.
Bisa-bisa, Chaca akan melabrak Pasha setelahnya!
"Terus dia juga ngecek aku—apa aku ada terluka atau enggak karena memasak"
"Serius, aku sama sekali gak ngerti sama Pak Pasha. Dari cerita kamu Han, aku tau Pak Pasha ngelarang kamu masak itu pasti karena khawatirin kamu tapi—" Miftah benar-benar sulit mengungkapkan pikirannya dan Chaca pun terus menyambung sebagai gantinya.
"Protektif nya pak Pasha itu udah over banget—dan yang aku gak habis pikir nih ya.." Chaca tampak menarik nafas dalam-dalam dan meneruskan, "Itu orang bakal hukum Hana kalau Hana tetap kekeuh memasak? Emangnya dia pikir Hana tu anak SD apa yang gak nurut apa kata guru sampai harus kena pukul dengan penggaris?"
Miftah memijit pelipisnya merasa persoalan itu cukup rumit.
"Memangnya kalau pak Pasha hukum kamu, pak Pasha hukumnya kaya gimana Han?" Tanya Miftah.
Perlahan Hana melepaskan masker yang telah menyembunyikan separuh wajahnya seharian ini. Hana mengungkapkan kondisi bibir bawahnya yang telah menyisakan luka kering yang menghitam.
Miftah dan Chaca membelalak kaget melihat keadaan bibir Hana yang bengkak dan bagian bawahnya yang ada bekas luka koyakan kecil.
"I-itu bibir kamu—"
"Ini bentuk hukuman dari Pak Pasha, karena aku udah gak patuh sama salah satu larangannya" Hana memilih untuk tidak menceritakan kalau itu berkenaan dengan Fawaz, kakak lelakinya Chaca. Hana takut Chaca akan menceritakan hal itu nantinya pada Fawaz.